Thursday, September 28, 2006

Perjalanan (Dalam Hujan)

Belum sempurna umurku melihat kembang yang berserakan di pelataran rumah, hujan sudah mengguyur bunga itu. Aku yang basah oleh deras hujan itu untuk sejenak berhenti dan berteduh di tempat bagiku cukup aman untuk berlindung. Melihat suasana rindang dan nyaman yang kini di hadapanku membuatku tersenyum sendiri. Tak ada yang lebih indah jika dibandingkan hujan hari ini, meski aku kedinginan dan pakaianku basah kuyup aku tetap menikmati suasana ini. Kusangka hujan itu takkan berlaku lama namun dugaanku salah, sudah hampir satu jam setengah hujan itu masih tak henti banjiri sekitarku. Sampai pakaian basahku mulai lembab, mulai tak nyaman untuk kupakai. Tapi aku masih tetap tersenyum dalam suasana sore ini.

***

"Rin, apa yang paling kamu suka dalam dunia ini?" tanyaku pada Rini.

Rini adalah satu-satunya sahabatku yang paling mengerti banyak tentang aku, ia selalu tahu semua permasalahan yang mengitariku. Solusi-solusi yang ia tawarkan selalu membawa tawa dalam tangisku. Padahal aku baru mengenalnya satu tahun yang lalu, waktu yang tidak terlalu lama untuk saling mengenal, untuk saling mengerti. Tapi Rini adalah sosok yang luar biasa, sosok yang bisa menghipnotisku untuk cepat mengenal dan bercengkrama dengannya.

Rini adalah pacarku, Rini adalah kekasihku, itulah yang sering diisukan di kalangan sekolahanku, itulah yang sering dibicarakan oleh-oleh teman-teman di kelasku. Tak salah kalau isu itu menyebar dan berkembang di kalangan sekolahku, karena memang hubunganku dengan Rini begitu dekat, hampir tak ada jarak di antara aku dan Rini. Tapi semua itu salah, karena aku dan Rini tak ada apa-apa, kedekatan kami tak lebih dari hubungan persahabatan. Rini adalah sahabat curhatku yang baik, meski dia bukan pacarku namun posisi dia di hatiku melebihi seorang kekasih, meski dia bukan kekasihku namun perhatian yang ia berikan padaku melebihi apa yang pernah diberikan pacar-pacarku saat aku masih pacaran dulu. Yang jelas Rini adalah sahabat sejatiku, sahabat karibku, tak lebih.

Menjelma adalah tubuhku yang terpatung, meraup adalah kerangkaku yang terpaku, meraung adalah jiwaku yang terlunta-lunta tak berdaya. Begitu dalam rasa dari hati lalu tertumpah dan menjelma menjadi apa yang sekarang kau lihat.

"Yang paling aku suka adalah hujan," begitu jawabnya,

"Mengapa?" balasku,

"Hujan mengajarkan banyak hal tentang kesabaran, hujan menuntut kita untuk memilih. Hujan tidak pernah memaksa, dia selalu memberikan kita pilihan. Hujan selalu memberi tantangan, aku suka hal itu," jawabnya menghayati.

"Aku tak paham dengan apa yang kau maksud Rin,"

"Hujan tanpa memaksa sudah menuntut kita untuk menentukan pilihan apalagi dalam sebuah perjalanan. Kau selalu dituntut untuk berteduh atau meneruskan perjalanan, dua-duanya mempunyai resiko. Berteduh berarti waktumu akan tersita lama hanya untuk menunggu hujan reda, meneruskan perjalanan berarti kau akan kebasahan. Hujan selalu memberikan pilihan dan ia tidak pernah berkata kalau satu di antara dua pilihan itulah yang paling benar,"

"Hujan hanya berkata yakinlah kalau yang kau lakukan itulah yang terbaik bagimu," jelasnya panjang lebar.

Aku hanya termenung terkagum pada filosofi hujan yang panjang lebar dijelaskan oleh Rini, ini yang membuatku selalu termenung ketika hujan menyapaku, sejak saat itu aku tak pernah menyia-nyiakan moment hujan begitu saja. Aku selalu mencari makna apa yang kudapatkan dari hujan yang mengguyurku. Sejak saat itu, aku sering mendapat inspirasi dari hujan, tidak sedikit puisi, cerpen dan karya-karya sastra lainnya tercipta dengan tema hujan.

***

Awan beragam mengitari bumi dengan kegelapannya, dengan kesunyiannya. Matahari sudah tak tampak lagi, indah kekuningannya sudah tak tercoret lagi dalam kanvas semesta. Guratan yang tersobek oleh separuh rembulan yang memaksa hadir membuat petang berjalan dengan langkahnya yang berat. Hujan itu mulai reda, tak tarasa waktu berjalan begitu cepat di antara lukisan awannya. Meniti berat tubuh langit , berjalan lambat kaki bumi, lengan samudra, jemari sungai.

Itu dulu, Rini ada di dekatku, kini aku sudah tak lagi dekat dengannya. Dia meneruskan kuliahnya di Sudan, berita terakhir yang aku dengar dari Rini, kini dia sedang dekat dengan salah satu mahasiswa Malaysia yang juga satu angkatan dengannya di Sudan. Kadang aku bahagia akhirnya dia mau juga untuk menerima seorang Pria di hatinya. Dulu ketika dia masih dekat denganku dia selalu berucap kalau ia tidak akan menanamkan kata pacar dalam hatinya, yang ada hanya teman dekat, yang ada hanya teman akrab.

Hujan sudah mulai reda, aku bisa meneruskan perjalananku. Memang hujan selalu memberi dua pilihan, kali ini aku lebih memilih untuk berteduh dan menghabiskan waktuku untuk sejenak istirahat, karena bagiku untuk apa meneruskan perjalanan jika hujan masih mengguyur, kalau akhirnya banyak membawa kerugian.

Aku berjalan perlahan dalam suasana gelap, lagi-lagi aku teringat oleh sahabatku Rini, bagaimanapun juga dulu aku begitu dekat dengannya, tak ada jarak antara aku dan dia, tapi aku dan dia dipisahkan oleh samudra luas membentang tak kunjung menyempit hingga aku tak kuasa tuk menggapainya. Sungguh aku tak mencintainya tapi mengapa aku cemburu saat ia dekat dengan yang lain?

Adon AS

Selengkapnya...

Monday, September 25, 2006

Untuk yang memujaku...

Mungkin...
bintang terus bertanya apa maksud dari ini semua?
aku ragu
aku takut luka itu akan terkuak kembali
bertamu pada malam
membawa seonggok lampu redup
adalah hal yang pasti
adalah hal yang wajar
bahkan
adalah hal yang wajib
tapi hati-hati
lampu itu bisa padam sebelum engkau sampai tujuan

Selengkapnya...

Saturday, September 16, 2006

Sapaanku.....


Dalam perjalanan orang sering melihat banyak hal, jajanan yang nikmat, minuman yang segar, juz yang aromanya membuat siapa saja tergoda. Tapi semua itu adalah hidangan-hidangan yang akan kita jumpai dalam sebuah perjalanan, semua itu akan terasa biasa saja ketika kita selalu mengingat hidangan yang ada di rumah kita.

Namun setiap orang berbeda pendapat, ada yang merasa kalau mencicipi jajanan dalam perjalanan itu perlu, karena itu sebuah kebutuhan. Ada yang bilang kalau merasakan minuman dalam perjalanan itu wajib, karena itu sebuah kefardluan yang kalau tidak kita lakukan kita akan kehausan "Kita hausnya sekarang mengapa minumnya nanti?" Itu asumsi yang berkata kalau merasakan minuman di perjalanan adalah sebuah kefardluan. Namun ada yang berkata "Sabarlah sesaat, Ibu kita sudah menghidangkan makanan yang lezat di meja makan," dan ada juga yang berkata "Untuk apa engkau memasak masakan yang lezat sebelum kamu pergi kalau akhirnya kamu mencicipi makanan di jalanan?"
Yang jelas, makanan apapun, dan didapatkan dari manapun itu boleh kita makan. Entah yang kita beli di jalanan atau yang sudah dihidangkan oleh ibu, tapi yang jelas makanan itu tidak boleh merusak kesehatan dan tentunya menyenangkan!

(untukmu yang sedang menantiku - yang dalam perjalanan - sabar pasti aku pulang)

Selengkapnya...