Friday, March 09, 2007

Masa Lalu; dan rasa itu

terukir dalam kelabu
hanya sekejap
meski begitu lambat dan terurai panjang
aku tetap berjalan

dedaunan jatuh tidak berarti gugur
gunung meletus bukan berarti hancur
masih ada sisa tetes embun yang sudi menyentuhnya
dalam kerlap malam ia juga masih disinari rembulan

ke laut engkau kan bertemu bintang
ke sahara engkau akan bertatap senja
ke hati engkau kan bertemu dia

kini tabir itu terasa indah
terbuka dan menawarkan setitik rasa beda
yang kemudian kujelmakan menjadi cinta
dalam jubah ketulusan
diiringi ribuan malaikat kasih sayang
datang dari surga

kemudian rasa apalagi yang harus tertutupi
selain cinta dan kelembutan dari dalam hati
untuk seseorang yang begitu indah
begitu mempesona
begitupun ketika lambaiannya datang dengan senyum

aku cukup terlarut dalam mimpi yang
paling indah bagiku

Selengkapnya...

Saturday, February 24, 2007

Hari VII (Berpisah untuk Bertemu di Babak yang Lain)‎


Pagi ini aku membukakan mata perlahan dan memastikan kalau sesaat lagi ‎kita akan sampai di stasion Ramses Kairo. Kulihat angka di ponselku, ‎menunjukkan angka 8, berarti masih 2 jam lagi perjalanan menuju Kairo, ‎karena dijadwalkan jam 10 kita sudah sampai di stasion Ramses.

Sekedar ‎melengkapi detik-detik perpisahan dan menunggu waktu itu, "The Gembel" ‎mengisi waktu luang dengan saling bertukar kesan selama sepekan berenam. ‎Menurutku, Agus dengan kekonyolan dan kelucuannya membuat suasana ‎hening jadi begitu ramai, Yayah dengan cerita-cerita 'porno'-nya yang ‎seharusnya disensor, Ulya sahabat baruku yang begitu loyal ini membuat ‎perut kita tidak pernah terasa lapar, Meri yang ra
jin hunting photography ‎kadang bikin kesel, sering hilang waktu jalan bareng, Fifi yang selalu jadi ‎teman terdekatku selama sepekan. Tak ada kata bosan dan jenuh untuk selalu ‎bersama. Itu semua kesan satu-satu menurutku, kalau secara keseluruhan ‎yang jelas aku nggak pernah menyesal untuk bersama mereka semua.
Ikatan ‎hati kita berenam sudah begitu menyatu, sehingga tak ada lagi rahasia. ‎Bahkan kata-kata, cerita-cerita yang seharusnya disensor itu kita ceritakan. ‎Yang jelas dari kesan-kesan semuanya. Tak ada satupun yang meninggalkan ‎cacat di antara kita berenam. Kita cuma bisa berharap suatu saat kita berenam ‎dipertemukan lagi dalam momen yang berbeda dengan suasana hati yang ‎lebih bahagia tentunya. ‎

Selengkapnya...

Hari VI (Selamat tinggal Aswan dengan Berjuta Kenangan)‎



Pagi ini kita sudah harus beres-beres barang, karena kita akan check-out jam 9 ‎pagi ini. Padahal kita baru akan kembali ke Kairo nanti jam 6 sore. Masih ada ‎beberapa agenda hari ini sebelum kita meninggalkan kota Aswan. Al-Masallah ‎al-Naqishoh mengawali rentetan perjalanan pagi ini.

Tempat ini menyimpan ‎benda yang sering kita kenal dengan sebutan Obelisk, namun di sini benda-‎benda itu dipercaya masih belum sempurna pembuatannya tapi sudah ‎hancur terlebih dahulu. Maka dari itu disebut Masallah Naqishoh. Di tempat ‎ini, hanya memakan 20 menit, waktu yang sangat singkat dibanding dengan ‎ku
njungan-kunjungan yang lain yang setidaknya menghabiskan waktu satu ‎jam setengah. Setelah dari tempat ini kita langsung menuju ke Ma'abid Philae, ‎ma'bad yang terletak di tengah-tengah Nil, menuju ke tempat itu saja harus ‎menggunakan perahu. Di sana hampir sama dengan tempat-tempat yang ‎sebelumnya sudah kita kunjungi. Tempat-tempat peribadatan Mesir Kuno, ‎zaman aliran Paganisme begitu maraknya. Setelah dari tempat itu, aku ‎menuju ke tempat yang bernama "al-Qoryah al-Nubiyyah". Lagi-lagi perjalanan ‎kita harus melintasi sungai Nil, kali ini lebih jauh. Memakan waktu dua jam ‎pulang pergi, untuk mengunjungi sebuah pedesaan yang terasingkan. ‎Padahal dipercaya bahwa keturunan Mesir yang pribumi adalah keturunan ‎Nubiyyah itulah. Pedesaan yang tidak terlalu besar, namun tidak begitu ‎tertinggal. Di desa yang begitu jauh dari pusat perkotaan masih ada warnet ‎‎(warung internet). Saluran listrikpun sudah masuk ke daerah itu. Selama ‎perjalanan, kita bisa menikmati pemandangan yang sangat-sangat alami, ‎warna hijau yang memenuhi kelopak mata membuat sejuk hati dan ‎merasakan bahwa cinta hadir lagi.
Jam 6 sore ini kita menuju stasion Aswan yang tidak begitu jauh dari hotel, ‎hanya memakan waktu 3 menit. Sembari kulangkahkan kaki ke arah kereta ‎aku terhenti sejenak untuk sedikit membalikkan kembali wajahku ke arah ‎berlawanan dan berkata dalam hati "Tempat ini begitu istimewa bagiku, kota ‎ini banyak menemaniku dalam kebah
agiaan yang berkepanjangan namun ‎kuyakin akan ada pungkasan. Tempat ini begitu istimewa bagiku, banyak ‎kenangan yang menjadikan aku bisa menumbuhkan rasa itu lagi, rasa yang ‎sudah lama kucoba untuk kukubur namun muncul lagi. Aku tak tahu siapa ‎yang salah, kalau rasa itu tumbuh lagi." ‎
‎"Sudahlah, aku tak ingin keindahan kenangan kota ini kukotori dengan rasa ‎yang abstrak itu. Biar kunikmati dan kujadikan butir-butir kenangan manis, ‎perjalanan sepekanku ini, dengan sahabat-sahabat yang luar biasa dan ‎bagaimanapun juga, setiap sesuatu ada akhirnya. Kini aku harus mengakhiri ‎kisah manis sepekan di Luxor dan Aswan."‎
‎"Aku berharap suatu saat aku bisa kembali ke tempat ini dengan kisah yang ‎lain, dengan warna yang lain, dengan rasa yang lain. Namun pulang dengan ‎senyum yang sama."‎

Selengkapnya...

Hari V (Masuk Angin, Rihlah jadi nggak Sa'idah)‎


Jadwal hari ini lebih parah, jam tiga dini hari kita semua sudah harus ‎meluncur ke tempat wisata yang dikenal dengan sebutan Abu Simbel. Waktu ‎yang terlalu pagi, udara yang terlalu dingin dan mata yang terlalu lelah tak ‎menjadikan perjalanan kali ini terkesan dipaksakan. Aku menikmati setiap ‎langkah. Tak ada yang memaksaku, semua kulakukan akan keinginanku ‎yang begitu dalam. Perjalanan direncanakan menempuh waktu 3 sampai 4 ‎jam. Dan kalau semalam kita bisa menikmati indahnya matahari saat ‎terbenam, pagi ini kita akan menunggu saat-saat matahari terbit. Lalu ‎kekuasaan apa lagi yang belum ditunjukkan oleh sang pecipta, semua begitu ‎indah.‎

Gila, kali ini perutku tiba-tiba terasa mual, kepala tak nyaman dan rasanya ‎aku sedang masuk angin, di hari yang begitu istimewa seperti ini aku harus ‎sakit. Ya, tak pernah ada yang tahu kapan datangnya musibah, musibah ‎datang tanpa permisi. Ia begitu lincah sehingga tak terdeteksi. Akhirnya ‎perjalananku ke Abu Simbel ditemani bad mood sehingga "The Gembel" harus ‎terkena imbasnya. Foto-foto aku malas, kalau bukan Fifi yang minta aku ‎kurang respon, diam lebih sering dibanding becanda seperti biasa. Ah, aku ‎tak tahu, jangan-jangan penyakit harianku selama tour kambuh lagi. Ah ‎terserah. Aku tak tahu.‎
Pulang dari tempat wisata itu, aku sedikit bisa tersenyum, meski rasanya ‎perut ini masih mual, masuk angin mungkin. Hampir tak ada kesan di Abu ‎Simbel yang membuatku ingin kembali ke tempat itu selain kisah masuk ‎angin di tempat yang begitu bersejarah. ‎
Di Aswan kegiatan tidak begitu padat berbeda ketika kita di Luxor, setelah ‎kita sampai di hotel, kita menikmati hidangan makan siang. Sekitar jam 4 ‎seharusnya ada kegiatan namun tidak bersifat wajib, yaitu naik perahu ‎mengitari sungai Nil bersama, kita memilih untuk tidak ikut acara itu karena ‎kemarin kita sudah mengitari tempat itu. Selain itu, kita juga ingin cari ‎kesempatan untuk bisa berbelanja oleh-oleh buat teman-teman yang ada di ‎Kairo. Setelah merasa cukup belanja teman-teman pulang. Tapi aku merasa ‎sangat kurang sekali, aku baru belanja beberapa souvenir untuk teman-teman ‎cewekku, sedang buat teman-teman NU aku belum beli apa-apa.‎
Malam harinya, aku kembali ke pasar yang tidak terlalu jauh dari hotel ‎Cleopatra, tepatnya ada di belakang bangunan hotel. Aku belanja sendiri, ‎dengan harapan tidak ada yang mengusik keinginanku untuk memberi 'ini' ‎ini dan memberi 'itu' itu. Malam ini "The Gembel" pisah, Fifi dan Meri santai ‎di kamarnya, Yayah dan Agus istirahat karena begitu lelah mungkin, sedang ‎Ulya jalan-jalan di pinggir Nil sendiri.‎
Akhirnya aku kembali ke kamar dengan barang belanjaan yang aku rasa lebih ‎dari cukup buat sekedar berbagi kebahagiaan dengan teman-teman yang ‎belum sempat ke tempat ini.‎

Selengkapnya...

Hari IV (Dari Luxor menuju Aswan untuk menikmati Senja)‎


Kalau kemarin aku memulai aktifitas mulai pukul 08.00 pagi, hari ini lebih ‎pagi. Pukul 06.00 pagi kita sudah harus meninggalkan Luxor untuk menuju ‎Aswan. ‎
Kencang udara pagi ini tak menghalangi kicau burung-burung mesra ‎bertaburan di langit menemani perjalanan pagi ini. Sembari berkata dalam ‎hati "Akankan aku bisa kembali lagi ke kota yang penuh dengan ribuan ‎sejarah ini?" pertanyaan itu tiba-tiba terjawab oleh senyum manisku sendiri. ‎Dan hari ini tiba-tiba aku mengingat teman-temanku di Kairo, aku rindu ‎mereka, aku ingin bercengkrama dengan mereka seperti biasa. Tapi di sisi ‎lain, aku ingin lebih lama di Luxor menikmati keindahan peradaban Mesir ‎Kuno dengan "The Gembel" yang rasanya sudah begitu 'dekat' denganku. ‎Bahkan aku bermimpi suatu saat aku akan kembali ke tempat ini dengan ‎mereka lagi.‎

Tak terasa di tengah lamunan itu, aku dikagetkan oleh suara salah satu ‎temanku kalau kita sudah sampai di Ma'bad Edfu, tempat pertam
a yang kita ‎kunjungi di kota Aswan ini. Kemudian setelah kita menghabiskan banyak ‎waktu di sana, kita meneruskan perjalanan ke Ma'bad Embu yang letaknya tak ‎begitu jauh dari Ma'bad Edfu. Setelah ke tempat-tempat tersebut, kita menuju ‎hotel Cleopatra, tempat kami tinggal selama di Aswan. ‎
Dari kualitas, jelas Cleopatra lebih berkualitas tapi Cleopatra dan Karnak ‎sama-sama berbintang tiga. Meski demikian, banyak fasilitas hotel Karnak ‎yang tak kita temukan di hotel Cleopatra. Tapi setidaknya, kita bisa ‎merebahkan tubuh di saat lelah datang tanpa permisi.‎
Sekitar jam 4 sore, "The Gembel" jalan-jalan ke Sun
gai Nil sambil menunggu ‎saat-saat terbenamnya matahari hari ini. Begitu indah ternyata, dan yang ‎takkan pernah terlupakan bahwa perahu yang kita naiki mengantarkan kita ‎melintasi dan menerpa air Nil yang seakan-akan menjadi tuhan kedua bagi ‎orang Mesir, karena hanya itu yang bisa menghidupi mereka. Matahari ‎terbenam dan rembulan muncul, dua hal yang bisa kita nikmati dalam waktu ‎yang bersamaan. Sebuah keindahan ciptaan Tuhan yang tak ada duanya. ‎Banyak kisah yang kusimpan dalam memori hatiku di senja ini, seumur ‎hidupku belum pernah aku merasa kalau senja bagiku begitu istimewa.‎
Bahkan dulu, aku pernah beranggapan bahwa senja adalah masa yang paling ‎aku benco, karena kehadirannya hanya sejenak, seakan hanya sebagai ‎pelengkap, bukan yang abadi.

Selengkapnya...

Hari III (Hari yang Begitu Padat, Buat Penat Kumat)‎


Bintang semalam sudah redup, rembulan menyapapun kian menjauh. Pagi ‎ini udara begitu dingin, kubuka jendela kamar hotelku sembari kunikmati ‎udara sejuk pagi ini. Begitu istimewa rasanya, tak seperti biasanya. Hampir ‎bisa dikatakan jarang sekali aku menikmati matahari di Kairo, setelah sholat ‎shubuh bisa jadi aku langsung tidur kembali sampai matahari sudah ‎sempurna. Namun, dalam tour kali ini tak mungkin bisa aku berlaku ‎seenaknya. Acara begitu padat dan penuh, pagi ini aku memulai aktifitas ‎sejak pukul 08.00.‎

Kulangkahkan kaki tepat pukul 09.00 ke arah lobi hotel untuk kemudian ‎menerjang pagi bertepi dan berkata "Hidup memang butuh bekal, setiap ‎langkah yang terarah menuju satu tempat yang tak setiap orang sama. Jalan ‎panjang belum t
entu memakan waktu yang lama untuk menempuhnya. Ada ‎yang hanya memakan sedikit waktu untuk menembes aral itu. Tinggal ‎bagaimana kita menjalankan peran itu."‎
Hari ini kita menuju enam tempat tujuan mulai dari Madinah Habu, kemudian ‎disambung Hatshebsut. Dan kemudian istirahat sejenak sekaligus menuai ‎sedikit ilmu tentang pembuatan patung, guji dan souvenir lainnya di Mashna' ‎Alabaster. Dan kemudian kita menuju sebuah tempat yang diberi nama Wadi ‎Muluk, di sana para Raja Mesir Kuno dan pembesarnya disemayamkan yang ‎sebelumnya tempat ini adalah kera
jaan tempat mereka memimpin pada ‎masanya. Setelah maghrib kita mengunjungi tempat yang kemarin sudah kita ‎datangi yaitu Ma'bad Karnak namun kalau kemarin kita ke tempat tersebut di ‎saat matahari masih terang, hari ini kita ke sana di saat matahari sudah akan ‎beristirahat sejenak. Di malam hari ternyata Ma'bad Karnak mengadakan ‎sebuah pagelaran seni teater tanpa lakon, sebuah drama yang menyeritakan ‎masa-masa kepemimpinan Ramses III atau yang masyhur dengan sebutan ‎Fir'aun pada zaman Mesir Kuno, acara tersebut diberi nama shut wa dlu' ‎sesuai namanya acara ini hanya bisa kita nikmati dari telinga, suara-suara ‎yang menggema dengan dukungan sorot lampu yang menyinari sebuah ‎bangunan jika ingin menceritakannnya dan dialihkan ke bangunan yang lain ‎jika cerita berubah. Arenanyapun sangat alami, semua yang ingin menikmati ‎pertunjukan ini digiring perlahan ke sebuah tempat terbuka yang sudah ‎dikhususkan agar semua yang hadir biasa mengamati seluruh sisi dari ‎Ma'bad Karnak secara sempurna, apalagi di tengah-tengah bangunan itu ada ‎sebuah kolam yang dipercaya sebagai tempat mandi para Tuhan pada masa ‎itu. Dan diberi nama al-Buhaira al-Muqaddasah. Terakhir kita berjalan ke arah ‎Mathaf Luxor (Musium Luxor), di mana di dalamnya banyak dipajang ‎miniatur-miniatur dan peninggalan sejarah yang masih terselamatkan dari ‎zaman Mesir Kuno. Selesai sudahlah perjalanan resmi tour hari ini, begitu ‎lelah. Hingga membuat penat pikiranku kumat lagi, entah faktor apa yang ‎membuat aku seperti ini. Tapi sudah dua malam ini aku merasakan hal yang ‎sama. Ada rasa yang luar baisa kencangnya yang menjadikan aku tak begitu ‎nyaman berada di sekeliling "The Gembel". Ingin sendiri rasanya, tak ada ‎yang mengganggu itu mungkin sedikit lebih baik. Aku memilih untuk ‎sendiri, kelima teman lainnya sudah pulang ke hotel untuk istirahat. Aku ‎duduk termenung dan hanya bisa diam di antara keramaian kota malam ini. ‎Dingin tak membuatku ingin segera pulang. Sejenak aku berfikir, apa ‎sebenarnya yang kulamunkan sehingga aku begitu bergejolak setiap malam. ‎Tak pernah tertebak bahkan denyut nadikupun tak pernah paham. Tapi itu ‎tak penting bagiku, karena aku hanya ingin sendiri malam ini.

Selengkapnya...

Hari II (Malam yang Begitu Dingin)‎


Hampir separuh malam sudah terlalui, kini waktu sudah menunjukkan ‎pukul 03.00 dini hari. Mata sudah mulai terasa berat untuk dipaksa ‎beraktifitas, apalagi aku sadar kalau setibaku di Luxor nanti aktifitas yang ‎begitu membludak akan menguras banyak tenaga. Sehingga bagaimanapun ‎juga aku akan berusaha memejamkan mataku. Usaha itu berhasil dan mataku ‎tertutup namun tak begitu lama, satu jam kemudian aku terbelalak kembali. ‎Tepatnya pukul 04.00 dini hari aku terjaga dengan tubuh yang luar biasa ‎menggigilnya. Tak kusangka kalau malam ini udara begitu dingin yang ‎cukup menyiksa tubuhku. Aku tak membawa banyak pakaian musim dingin. ‎Aku hanya memakai satu kaos, jaket, celana dan kaos kaki, padahal itu masih ‎kurang cukup untuk mengobati rasa dingin yang begitu menyiksa, di saat ‎aku menggigil kedinginan, Fifi yang duduk di sampingku ikut terbangun ‎dari tidurnya dan menyuruhku untuk memakai sarung atau pakaian apa saja ‎yang bisa kupakai, agar dingin yang menyiksaku bisa segera berangsur. ‎

Aku dan "the Gembel" bercerita sambil sesekali bercanda sampai tak terasa ‎kalau waktu sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi, sedang tadi kita cuma ‎tidur satu jam. Maka kami memutuskan untuk melanjutkan istirahat. Namun ‎begitu susahnya tidur di atas kereta. Bangun, tidur, bangun, tidur. Begitu ‎terus. Sampai akhirnya waktu sudah beranjak ke angka 10.20. Aku bertanya ‎pada salah satu petugas kereta, "Kapan kereta yang begitu pelan dan lamban ‎ini akan sampai di stasion Luxor?" Orang itu hanya menjawab "Satu jam lagi ‎kereta ini akan sampai tujuan." Namun sampai melebihi waktu yang ‎dijanjikan stasion tak kunjung tampak dan menjadikan kelelahan yang begitu ‎numpuk menjadi bertambah lagi. Apalagi WC kereta sangat jorok dan kotor ‎membuat Meri yang sudah tak kuasa menahan buang air kecil harus sabar ‎sampai kita semua sampai di hotel tempat k
ami menginap.‎

Kini kami sudah sampai di hotel yang kami tuju tepat pukul dua siang, telat ‎tiga jam dari waktu yang diperkirakan. Kami tidak diberi ampun oleh panitia ‎penyelenggara, dengan kelelahan yang luar biasa kami tak diberi waktu ‎sedikitpun untuk bernafas menghirup udara segar di hotel Karnak ini. ‎Datang, merapikan barang-barang, bersih-bersih muka sekaligus sholat ‎sejenak, kemudian makan siang – sekaligus sarapan pagi – dan langsung ‎menuju tempat wisata pembuka.‎
Makanan siang ini cukup mengesankan sebagai permulaan, seperempat ‎potong ayam dengan bumbu ala mesir cukup mendongkrak perut kita yang ‎sebelumnya hanya disodori beberapa potong roti dan cokelat serta beberapa ‎jajanan lainnya.‎
Menuju wisata pertama adalah Ma'bad Karnak salah satu tempat peninggalan ‎sejarah yang masih terabadikan di kawasan wisata Luxor ini. Tempat ini ‎mengajak kami untuk sejenak tadabbur akan keindahan Tuhan dalam ‎mengabadikan sesuatu yang semestinya sudah musnah. Dan kemudian ‎setelah sekitar satu jam di sana, kami ke tempat kedua yaitu Ma'bad Luxor ‎hampir sama dengan tempat sebelumya, mungkin keistimewaan Ma'bad ‎Luxor adalah setting malam dengan lampunya yang cukup seram tapi ‎romantis itu yang menjadikan Ma'bad Luxor begitu terkesan bagi ‎pengunjungnya. Kami menghabiskan banyak memori foto di tempat ini. ‎Ratusan foto adalah saksi bahwa kami pernah menjadi bagian dalam ‎beberapa orang yang diberi kesempatan untuk bisa berkunjung ke tempat di ‎mana sejarah peradaban Mesir kuno tercatat.‎

Selengkapnya...

Hari I (Penantian yang Membosankan)‎


Mata sudah cukup lelah, tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 11 lebih 11 ‎menit. Duduk hanya sekedar mengendorkan kembali urat-urat tubuhku yang ‎semakin mengencang setelah cukup lama menunggu. Tepat pukul 8 malam ‎aku sampai di stasiun Ramses untuk melakukan perjalanan menuju Luxor. ‎Perjalanan ini molor setengah jam dari pukul 22.30 sampai 23.00. Namun, ‎bukan masalah yang besar bagi rombongan kami yang sudah begitu ‎menghayal keindahan-keindahan di tempat tujuan. Tak ada yang terukir ‎dalam benak "The Gembel" (aku, Fifi, Meri, Agus, Ulya dan Yayah) selain ‎asyiknya tour kali ini. Seminggu sejak tanggal 29 Januari 2007 akan menjadi ‎saksi yang tak pernah dusta akan indahnya perjalanan tanpa jemu.‎

Sudah hampir lima belas menit kita duduk di kursi masing-masing, namun ‎belum ada tanda-tanda kereta akan berangkat. Dalam hati hanya bergumam ‎tanpa mampu berucap apa-apa. Kesal namun hanya bisa menunggu. Aku ‎duduk di samping Fifi berhadapan dengan Yayah dan Meri, Agus duduk ‎berseberangan denganku, sedang Ulya jauh di depan karena kursi di sekitar ‎sudah penuh. Janggal rasanya, tapi bagaimana lagi. Ini adalah resiko karena ‎kita tidak cepat-cepat mencari kursi sejak awal. Namun sekali lagi itu ‎bukanlah persoalan yang cukup rumit yang bisa menjadikan nilai perjalanan ‎ini berkurang.‎

‎"The Gembel" adalah sebutan bagi Aku, Fifi, Meri, Agus, Ulya dan Yayah. ‎Kita berenam menamakan diri "The Gembel" dengan alasan yang perlu kami ‎sensor, karena tak layak dikonsumsi publik.‎
Tepat pukul 23.55 suara tanda kereta akan bergerak sudah terdengar. Ribuan ‎burung camar bersinggah di dalam hati, ikut menghiasi sarang yang berarti. ‎Bunga-bunga dengan wanginya yang ikut mengharumi ruang kecil dalam ‎kalbuku terasa begitu sempurna, terasa begitu ada dalam sisa nyawaku yang ‎sudah hampir setengah. Kereta berjalan perlahan dan cukup lamban, tak ‎begitu terburu nampaknya atau memang kewajiban menaati peraturan ‎bahwa kereta tersebut tidak boleh terlalu laju. Bahkan Meri sempat nyeletuk ‎‎"Jangan-jangan yang dorong kereta ini lagi capek kali ya....."‎
Banyak hiburan yang kami lakukan sambil mengisi kekosongan waktu ‎sebagai pengantar tidur malam ini, mulai dari nonton komedi Boboho sampai ‎dengan main poker. Yang jelas suasana kereta malam ini sangat tidak ‎mendukung untuk beristirahat. Fifi bingung harus bergerak bebas agar bisa ‎meletakkan kakinya secara nyaman. Aku juga tak terasa begitu ngantuk ‎hingga buku "Change" yang kubawa bisa menjadi temanku malam ini ‎sekaligus sebagai pengantar tidurku.‎

Selengkapnya...

Wednesday, January 03, 2007

Idul Adha & Tahun Baru 2007 (Catatan kelam di Hari Akbar)

Senja makin memerah dan langit makin gelap tak tampak ada hawa yang begitu bersahabat, entah seakan malam ini terasa begitu dingin mencekam. Tak ada suara matahari melintas untuk setidaknya menyampaikan salam perpisahannya. Aku duduk termenung dan tak mengapa. Di rumah yang akan aku tinggalkan ini aku sudah menorehkan berjuta kenangan yang kalau kuceritakan pasti takkan habis, paling tidak selama lebih kurang dua tahun, rumah ini sudah memakan dua handphoneku sebagai korban. Ya, aku kehilangan hp di rumah ini sampai dua kali. Kalau kukenang, ada tawa yang bercampur haru di sana. Tapi sudahlah, itu akan segera menjadi kenangan. Dan sebagai manusia aku rela untuk terus berjalan bukan hanya diam terpaku dan selalu mengingat kenangan itu. Aku punya kisah menarik tentang hari-hariku.

Kamis, 28 desember 2006
Hari ini aku mengundang banyak teman-temanku untuk ikut memindahkan barang-barang dari rumahku ke rumah yang akan kutempati. Hampir semua barang kini sudah siap diangkut dan dipindahkan. Dan tak lama mobil yang rencananya mengangkut barang itupun datang. Namun tanpa diduga dan tanpa disangka di saat yang sama dan di waktu itu pulalah anak tuan rumah yang selama ini selalu mencari gara-gara datang dan melarang kita untuk pindah sebelum kami membayar kerusakan-kerusakan rumahnya dengan harga yang tidak wajar. Setelah ia menghitung semua kerusakan, ia meminta kami uang sebesar LE 2500 (4 juta rupiah. red). Kalau tidak dibayar tak seorangpun dari kami boleh keluar dari rumah itu.
Tak ada cara untuk berdialaog dengan anak tuan rumah – untuk selanjutnya dipanggil Syarif – , karena selain memang dia bukanlah orang yang berpendidikan dia juga pemabuk, mengkonsumsi obat-obatan terlarang dan setengah gila. Sehingga ngotot bagaimana juga tidak akan selesai. Akhirnya kita berusaha memikirkan bersama jalan keluar agar kita bisa menyelesaikan permasalahan ini dengan baik-baik. Aku dan tujuh teman yang lainnya berusaha setenang mungkin berfikir mencari solusi. Tapi di tengah-tengah itu, tiba-tiba aku melihat Syarif mengambil pisau di dapur dan menaruhnya di saku belakang celananya. Spontan, pikiran kami buyar dan pikiran kami makin kalut dan buntu. Kami memilih untuk menghubungi salah satu senior karena hati sudah sangat kalut.
Setelah pihak senior memikirkan hal tersebut mereka memilih untuk menghubungi pihak kepolisian Mesir dan menangkap Syarif untuk kemudian diproses. Karena ia telah melakukan menyandraan dan mambawa benda tajam. Semula semua yang ada di sekitar sana merasa kesal karena pihak polisi tak kunjung datang, “di Mesir nunggu polisi sama dengan nunggu tukang listrik”. Keluh salah satu teman yang ada di dalam rumah.
Namun tak lama kemudian, dua intel datang dan menyergap Syarif dalam proses yang begitu singkat dan membawanya ke kantor polisi terdekat. Sesampainya di kantor polisi Syarif memohon maaf dan berjanji tidak akan meminta uang sepeserpun dari kami. Semula aku dan para senior tak memberikan sedikitpun kata maaf baginya. Namun lama-kelamaan naluri kemanusiaan kami luluh dan tak sanggup untuk menjatuhkan hukuman penjara padanya. “Ma’alisy ya fakhruddin, bukroh yoom ‘id we ana kan di sign, musy enta akhuya” (Maaf Fakhruddin, kamukan saudaraku, besok idul adha masak aku merayakannya di penjaga, red) itu kalimat yang ia ucapakan yang paling membuat hati salah satu senoir luluh. Setelah melalu proses yang lama, akhirnya kami memutuskan untuk membebaskannya dengan syarat.

Jum’at, 29 desember 2006
Hari ini aku bangun cukup siang, setelah semalaman sampai jam 02.00 dini hari berada di kantor polisi. Badan masih terasa letih, hati masih belum begitu tenang, karena trauma yang begitu membuat aku begitu panik. Seumur hidup aku tak pernah sepanik tadi malam. Tapi, bagiku itu adalah bagian dari kisah Tuhan yang bisa kujadikan pelajaran di kemudian hari. Pindah rumah yang semula direncanakan tadi malam, kita tunda sampai saat ini.
Kini kami sudah berada di rumah yang baru dan merapikan semua perabot dan menata rumah serapi mungkin, tak terasa kita kita selesai bersih-bersih dan rapi-rapi sampai jam 03.00 dini hari. Berarti dua malam ini aku sudah begitu lelah dan memakan banyak tenaga. Padahal besok pagi ada Sholat Idul Adha berjamaah di KBRI. Namun aku ragu kalau aku kuat untuk pergi ke KBRI yang lokasinya cukup jauh dari rumahku.
Aku tak memikirkan apa yang akan kulakukan besok, yang jelas sekarang aku ingin merebahkan tubuhku di bawah selimut tebalku dan memejamkan mataku sembari berharap mendapatkan mimpi yang indah sebagai penghibur laraku.

Sabtu, 30 desember 2006
Hari ini aku melewati pagi dengan biasa-biasa saja. Tak ada yang istimewa di hari idul adha ini, selain karena badan yang begitu letih hari ini aku lewati di rumah baru yang masih tak lengkap perabot dan bahan dapurnya. Bahkan sendokpun tak ada, aku mau berkreasi di dapurpun tak bisa. Mau makan di warung, tak satupun warung yang buka. Akhirnya kami serumahpun kelaparan di hari Idul Adha tahun ini.

Ahad, 31 desember 2006
Malam tahun baru yang membosankan, sama seperti kemarin, semua serba biasa. Bahkan kami serumah menghabiskan malam tahun baru dengan main pokker. Mau merayakan tahun baru di sungai Nil, tapi udara dingin di luar diiringi rintik hujan membuat langkah sedikit berat dan tak mau beranjak dari selimut.

Senin. 01 Januari 2006
Tahun baru sudah datang, lembaran baru sudah mulai kubuka. Kenangan kelam 2006 kukubur untuk kujadikan pelajaran. Kenangan indah 2006 kubiarkan menghiasi hari-hariku di tahun ini. Namun tak kubiarkan kenangan indah itu menjadikanku terlena dan merasa cukup dengan apa yang kudapat. Aku hanya berharap harapan-harapanku yang pupus di tahun 2006 bisa kuraih di tahun yang baru ini. Cinta dan kasih sayang lekaslah berlabuh untuk setidaknya menyapaku.
Sate-sate kambing membuka lembaran baru tahun ini. NU Mesir merayakan perpindahan rumah, idul adha dan tahun baru dengan nyate bareng. Ratusan teman-teman yang datang membuat tangisku pudar, membuat senyum kembali terukir. Dan kuberharap agar mimpi yang sempat dari tanganku kembali kuraih dan untuk kemudian kupeluk erat-erat agar tak lepas dari genggamanku.

Selengkapnya...