Saturday, September 27, 2008

Sesuatu Terjadi di Seoul (Part 3)


"Kamu masih mengingatku?" Ia menyebut namaku.
"Bagaimana bisa aku melupakanmu," Jawaban singkat itu membuatku sejenak terhentak. Dan aku tak tahu mengapa ini terjadi.
"Ah, kamu bisa aja" Aku berusaha mengembalikan suasana semula.
Ia diam, tak bersuara, dan seketika udara berhenti mengirimkan kesejukannya. Hangat yang terasa, tapi tak begitu lama. Karena bintang begitu cepat merespon kegilaan malam ini, ia kembali membuka pintu surga agar anginnya terkirim ke taman ini. Meski akhirnya tak begitu banyak merubah hawa di taman ini. Ah,

"Kamu yang bisa aja Yal, bagaimana mungkin aku bisa melupakan kamu. Orang yang sudah memberikan banyak warna dalam hidupku, memberikan banyak aroma dalam ruangan hatiku. Sampai tak cukup umurku untuk menghilangkan semua itu, semua yang telah kau goreskan dalam kalbu. Bunga-bunga yang kau tanamkan dalam hatiku terlalu kuat akarnya untuk kucabut dan kubuang jauh-jauh. Aku tak bisa." Kata demi kata yang ia ucapkan serasa menggiringku ke sebuah ruangan kosong. Ia ingin menghakimiku di sana. Atau bahkan ia ingin menggantungku di sana.
"Kamu masih menyimpan dendam padaku Sya?" Nampaknya sudah tidak ada waktu untuk basa-basi, pikirku.
"Aku tidak pernah dendam," jawabnya singkat.
"Lalu?" balasku.
"Lalu? Memang sebelum ini apa yang sedang kita bahas, sampai kamu bilang lalu?" terus terang aku bingung dengan perkatannya.
"Yal, pernah nggak sih terlintas dalam benakmu untuk bertemu aku lagi dan berbuat sesuatu padaku? Atau kamu sudah benar-benar melupakanku?" ia masih terus membuatku bingung.
"Maksud kamu apa Sya? Aku benar-benar tidak paham dengan apa yang kamu omongkan dari tadi." Aku menghentaknya sedikit kencang, dengan harapan ia tidak terus menyiksaku dengan kata-katanya yang makin memojokkanku.
Namun ia tak juga berhenti dengan hentakkanku tadi, aku heran. Ia benar-benar berubah, tidak lagi seperti Rasya 10 tahun yang lalu, Rasya yang ceria. Kini ia begitu dingin, senyumnya begitu mahal untuk dinikmati setiap detik. Perkataan halusnya dulu kini menjelma menjadi duri-duri kecil yang begitu menusuk. Ia terus mengungkit permasalahan terakhir yang membuat aku berpisahan dengannya. PERNIKAHAN. Ya pernikahanku dengan gadis pilihan ibuku. Rasya tidak mengerti apa alasanku meninggalkannya saat itu dan lebih memilih gadis yang kini menjadi istriku. Bukan karena apa-apa, aku tak tahu dari mana aku harus memulai membuka rahasia itu, agar ia tak lagi seperti ini.
Aku tak menyangka, waktu sepuluh tahun tak cukup menghapus memori-memori tentang aku dalam hatinya. Sampai kini dia harus membicarakan hal itu lagi. Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku terlalu lemah untuk berhadapan dengan makhluk kuat bernama wanita.
"Kamu tinggal di sini? Atau sedang liburan akhir pekan?" aku berusaha mengalihkan pembicaraan dengan tema yang sama.
"Aku sudah satu tahun kerja di sini, sejak cerai dengan suamiku tahun lalu. Aku cari kesibukan agar bisa melupakannya." Syukur ia mau menjawab pertanyaanku. Tapi, hah..
"Kamu cerai? Kenapa?"
"Ia ingin menikah dengan wanita lain, aku lebih memilih jadi janda daripada harus mendapatkan bagian kecil dari cintanya."
Ya Allah kenapa pembahasannya harus kembali ke area ini lagi? Nampaknya aku harus bersikap lain, agar pembicaraan ini ak berlarut-larut. Tapi bagaimana?
"Sudah dapat gantinya?" Aku melihat wajahnya ada gores kekecewaan dengan pertanyaanku,
"Maksudku, apa sudah ada lelaki lain yang membuat kamu jatuh cinta padanya dan membuat kamu melupakan mantan suamimu?" Aku cepat meralat pertanyaanku yang pertama.
"Belum," ia berhenti sejanak dan melanjutkan ucapannya.
"Atau mungkin tidak akan pernah, karena aku masih mengharapkanmu Yal." Seketika awan di langit mendung, bintang-bintang kecil makin mengecil sampai tak lagi tampak olehku. Cahaya rembulan berubah menjadi begitu menyilaukan.
"Maksudmu?" tanyaku,
"Aku masih cinta kamu Yal."

0 komentar: