Friday, December 02, 2005

Kumcer 1: Menanti Adalah Aku

MENANTI ADALAH AKU

Kairo, 01 Januari 2005

Dengan tangis kusambut tahun baru, tahun baru yang membuat aku terpaku menatap rembulan malam ini, tepat pukul duabelas malam ini, aku telah menginjak bulan yang kedua selama aku di Kairo, aku terbaring di kasur, semua teman-temanku merayakannya, semua bahagia, ada yang merayakannya dengan jalan-jalan ke sungai Nil, ada yang kencan ke rumah kekasihnya, aku tak bisa berbuat apa-apa, aku bangun dari tempat tidurku, aku mengambil botol di dalam kulkas dan menuangkannya dalam gelas plastik berwarna biru, kubawa air itu ke dalam kamarku kembali, aku buka buku harian yang telah lama tidak pernah kujamah, aku membuka halaman di mana Ria kekasihku pernah menuliskan puisinya di buku itu, aku baca perlahan, aku merindukan kasih sayang seorang kekasih seperti dia, penuh perhatian, rasa cintanya tak terbandingi. "Tuhan, sungguh hidupku hanya untuknya".

Kairo, 05 Februari 2005

Aku lalui hariku penuh kebosanan, cinta sudah tak lagi menyapa diriku, aku kesepian, hidupku hampa tanpa rasa cinta, aku bosan akan keheningan, hatiku kosong, aku ingin berteriak "Bidadari datanglah karena aku butuh kamu" namun aku tak mampu, aku bingung kepada siapa aku harus berteriak. Aku masih mencintai Ria, dan aku akan berusaha untuk menjaga dia sebagai separuh nafasku. Mungkin suatu saat Tuhan akan menepati janji-Nya, bahwa yang terindah sedang Ia simpan dalam surga dan akan Ia suguhkan untukku kelak, di suatu masa, bukan sekarang. "Tuhan, aku setia menanti".

Kairo, 23 Februari 2005

Langit mendung, udara dingin menyengat dan membuatku tak betah untuk selalu berkata bahwa aku adalah penanti, menjaga kurasa bukanlah hal yang terindah apalagi itu tak pasti, dan aku yakin iapun lelah menantiku, itupun kalau memang ia menantiku, kalau tidak lalu kenapa aku lelah, cinta yang sudah lama terendap aku takut akan semakin dalam tertutup dalam kalbu. Menanti adalah aku mengukir kata-kata dalam keheningan, menyapa bintang yang sedang tersenyum lepas, menggandeng rembulan yang nampak sendiri tanpa bintang. Sore ini aku duduk sendiri di balkon rumahku, aku menatap senja ini begitu indah, tak ada yang mampu aku tuliskan dalam ukiranku kali ini selain kata rindu."Tuhan, apakah salah jika aku berusaha untuk setia, tak memandang semua gadis selain dia". Dalam hitungan bulan aku telah meninggalkannya, aku tidak lagi mendengarkan suara merdunya, aku tak lagi mampu menyentuh lembut pipinya, aku bukanlah yang selalu membelai mesra rambutnya. "Tuhan, kumohon ini hanya sementara".

Kairo, 04 Maret 2005

Menanti adalah aku, mungkin aku adalah bebatuan yang hanya terdiam, tanpa mampu bergerak ketika kaki-kaki menendangku, lalu makin lama aku makin dekat dengan sungai yang siap tuk menelanku. Kini aku sedang menggarap novelku yang pertama, aku memang terlalu berani untuk menulis novel, memang aku paling senang dengan yang namanya sastra, menulis puisi dan cerpen adalah kesukaanku. Tapi untuk sekelas novel memang terlalu sulit untukku, tapi untuk mencoba aku rasa nggak ada salahnya. Walaupun aku nggak punya komputer aku pikir itu bukanlah kendala yang menyusahkanku, aku masih bisa nulis di komputer Baim temen serumahku. "Tuhan, kucoba dengan semangat, untuk memulai menulis novelku".

Kairo, 30 April 2005

Novelku sudah hampir selesai, dua bulan sudah kulalui dengan menulis novelku, persiapan ujian tidak membuatku patah semangat untuk melanjutkan nulis novel. Lagi-lagi aku teringat dengan belahan hatiku yang telah lama kulupakan, ia kujadikan inspirasi karya ini, aku menuliskan sosok karakter Ria, ia aku anggap gadis paling sempurna yang pernah aku kenal. "Tuhan, izinkan aku menuliskan tentang dia dalam karyaku".

Kairo, 07 Mei 2005

Ya Allah, tak terasa air mata menetes deras ketika waktu telah menunjukkan pukul 12 lebih dua menit, dan itu berarti kini tepat delapanbelas tahun umurku. Waktu yang begitu berkesan bagiku, di hari ulang tahunku, aku telah menyelesaikan karya pertamaku, tak kuduga novel itu bisa selesai hanya dalam waktu tiga bulan lebih. Di ulang tahunku yang ke delapanbelas, ya delapanbelas umur yang begitu muda jika dibandingkan dengan teman-temenku, tapi bagiku itu bukanlah suatu masalah, apalagi hal cinta, toh semua pacarku lebih tua dibanding aku. Tak terkecuali, apalagi Ria, ketika aku jadian dulu, aku masih umur enambelas tahun sedang dia udah umur delapanbelas tahun. Itu bukanlah halangan bagiku, aku selalu berusaha mencapai yang terbaik dalam segala hal, apalagi cinta.

Di tengah-tengah tangisku, di depan komputer aku tak mampu meneruskan kata-kataku. Tiba-tiba terdengar dering handpone mengagetkanku, kulihat tak tertera nomor di layar handponeku "INDONESIA", aku tekan tombol hijau di handponeku dan kumulai pembicaraan. Kudengar dari jauh suara yang lama tak pernah kudengar, "Selamat ulang tahun", betapa kagetnya, ternyata seseorang yang terindah bagiku adalah orang yang pertama yang mengucapkan selamat bagiku. Aku salah menilainya, aku kira ia benar-benar melupakanku. Aku kira novelku adalah kado tunggal dariku untukku di hari spesial ini, ternyata ia menelponku. "Tuhan, aku masih cinta dia, terima kasih engkau telah menjaganya untukku".

Kairo, 11 Juni 2005

Menanti adalah aku, hidup ditemani resah, hidup bersama dengan gelisah. Kini aku tersenyum, nanti aku terpaku menangis tanpa resah dan gelisah, karena di hari ultahku bulan lalu ia adalah orang tunggal yang mengucapkan selamat padaku. Aku tersentuh, bahkan tak seorangpun dari temen kuliahku yang mengucapkan "happy birthday" untukku, tapi tak apalah. Ini adalah hari ujianku yang ke tiga di termen kedua, aku lelah setelah ujian, aku sandarkan tubuhku yang lemas ini di kursi ruang tamuku, aku mengingat dan membayangkan, bagaimana jadinya kalau ternyata di ujian tahun ini aku gagal, aku malu pada orang tuaku, aku malu pada kakakku, pada semua yang mencintaiku, mereka menaruh harapan padaku. "Tuhan, maka izinkan aku lulus tahun ini".

Kairo, 18 Juli 2005

Ujian sudah selesai dan kini tinggal bagaimana aku menunggu hasil, lagi-lagi menunggu. Kenapa aku selalu ditakdirkan untuk menanti dan menanti. Kutakut penantian ini hampa di akhir cerita. "Ria, kalau boleh aku jujur, cinta yang pernah aku janjikan untukmu bukanlah bualan kata belaka, tapi itu semua layaknya ukiran kata Ilahi yang disampaikan padamu. Maka jagalah". Kenapa di saat aku menanti pengumuman aku malah mengingat Ria lagi, "Tuhan, izinkan dia menjadi permaisuriku".

Kairo, 22 Juli 2005

Randra telpon aku hari ini, pagi masih begitu gelap, aku terbangun dan kudengar apa yang ingin ia sampaikan begitu mengagetkan, ia memberi tahu kalau RIA MENIKAH!!!. Mata yang tadinya masih tertutup enggan terbuka kini terbelalak. Betapa kagetnya, bidadari yang kudamba ternyata sudah menjadi milik orang, burung itu kini sudah tak lagi dalam genggamanku. Lembut sentuhannya takkan lagi kurasa, mungkin kini rasa sudah terkubur dalam-dalam, aku tak akan terbawa dalam arus ini, "Tuhan, biarkan aku berusaha melupakannya".

Kairo, 13 Agustus 2005 :08.00 a.m.

Aku mudah untuk melupakan sebuah masalah. Bagiku, hidup adalah hari esok, sedang masa lalu adalah masa lalu, biarkan masa lalu itu berlalu seiring jarum jam yang selalu bergerak meninggalkan kita. Pagi ini pagi yang indah, pagi yang cerah ditemani udara sejuk dengan mentari bersahabat, aku mengikuti rekreasi mahasiswa ke pantai Matruh di Alexandria. Di dalam bus menuju arah sana, suasana begitu hening, kebanyakan dari teman-teman rombongan tertidur lelap, di bangku paling pojok belakang, aku bingung apa yang akan kulakukan, aku ambil gitar dan kumainkan gitar itu membuat suasana sedikit rame.

Kairo, 13 Agustus 2005 :10.00 a.m.

Aku merasa asing dengan wajah-wajah temen serombongan, aku hanya kenal beberapa saja, mungkin sekitar sepuluh orang saja. Tapi, aku berusaha tenang dan santai bergaul dengan mereka, karena aku yakin hari ini dan besok adalah hari terindah bagiku, aku akan rekreasi ke pantai mengamati indahnya malam hari di pinggir pantai walau tanpa orang yang aku cintai.

Aku nggak kuat duduk di pojok belakang, sempit. Apalagi aku megang gitar. Aku pingin pindah ke tempat duduk bagian depan, mungkin lebih membuat aku leluasa bermain gitar.

Kairo, 13 Agustus 2005 :02.00 p.m. in Muntaza

Hentakkan kakiku menginjakkan bumi Muntaza, seiring berhentinya bus yang aku naiki, aku pandangi suasana taman yang begitu hijau sehijau hatiku (mungkin). Semua temen rombongan berpencar, pisah, ada yang bermain bola, ada yang makan, ada yang hanya duduk-duduk santai sambil main gitar, sedang aku hanya berjalan mengelilingi hijaunya taman sendiri, tanpa teman. Aku berhenti di sebuah pohon yang kupandang begitu indah, aku terhentak untuk berhenti sejenak, menuliskan sedikit goresan sajak tentang alam. Aku ambil penaku dan buku di dalam tasku dan mulai kutulis sajak itu,

ALAM CINTA

alam cinta

adalah sebuah kisah

penuh tawa

penuh kebahagiaan

alam cinta

adalah alam ketika engkau masuk

ada pohon kasih sayang

ada tumbuhan kelembutan

ada daun kemesraan

ada angin kerinduan

ada burung sang ratu cinta

ada pecinta yang cinta cinta sejati

alam cinta

adalah cintaku di sana

semua kulari padanya

dan itu menguji cinta manusia

dalam alam cinta

aku temukan dia

Puisi itu aku buat dengan penuh rasa kecemasan, hidupku benar-benar hampa tanpa seorang bidadari yang sudah aku nantikan kedatangannya.

Aku heran, apakah hanya alam yang mampu bercinta, aku ingin kembali menjadi masa laluku, bersama dengan Ria dan masa laluku yang lainnya.

Alexandria, 13 Agustus 2005 :02.00 p.m.

Suasana benteng yang tinggi membuat aku menatap, andaikata aku bisa sekuat benteng ini, mungkin aku tidak akan pernah merasakan bagaimana sakitnya ditinggal. Aku akan lebih kokoh, walau terik mentari begitu panas, walau deras hujan begitu kencang menghantam, tapi ia kokoh. Aku duduk di pinggir pantai kecil dekat benteng itu, aku pandangi bebatuan yang begitu membuatku tercengang, ia berada di tengah-tengah ombak, ia selalu diterjang arus yang deras, tapi ia tak pernah mengeluh, ia selalu menerima itu dengan tetap tenang, sedang aku. Ketika aku mencintainya, dan ada sedikit ombak, aku sudah terhanyut. Aku takut ombak itu menyeretku makin dalam.

Alexandria, 13 Agustus 2005 :04.00 p.m.

Bus berjalan kencang menuju arah penginapan sebelum kita menuju pantai Matruh. Suasana makin hidup, di dalam bus banyak temen yang menghibur dengan membuat pertanyaan-pertanyaan yang kocak. Sedang aku hanya duduk di kursiku dekat jendela sambil memainkan gitarku. Kupandangi arah luar jendela. Sepanjang jalan kutusuri dengan penuh ketenangan, aku tak mampu berbuat apa-apa selain memainkan gitarku. Tiba-tiba seseorang yang duduk di depanku memandangku ketika aku memainkan gitar, aku tak tau, pandangan apa itu. Tapi yang jelas aku tak pernah merasakan sejuknya pandangan sesejuk pandangan ini, bahkan Ria tak pernah menyuguhkan sejuknya teduh mata beningnya seperti apa yang disuguhkan gadis ini. Aku takut, aku takut untuk menikmati pandangannya, aku berusaha tidak memperhatikan apa yang ia tatap, aku terus memainkan gitarku, dengan penuh rasa, tapi mata hatiku masih terus memandangi gadis di depanku ini, ia selalu menatapku, aku kini sudah di langit.

Alexandria, 13 Agustus 2005 :10.00 p.m.

Berawal dari sini, semua terjadi. Aku tak tahu rasa apa ini. Aku telah sampai di penginapan tempat kami akan istirahat. Tatapan matanya masih menghantuiku. Aku benar-benar gila, aku tak mampu berbuat apa-apa, sampai teman-temanku bingung, apa yang sedang terjadi padaku. Di dalam kamar aku termenung, mungkinkah, gadis ini akan bisa menggantikan posisi Ria dalam hatiku? Cinta memang tak semudah yang kubayangkan. Tapi bayanganku terlalu mudah untuk mencintainya. "Hai, ayo kita berangkat". Aku melangkahkan kaki beratku menuju bus dengan mata yang terbang menerawang entah kemana. Jejak itu adalah hampa, semua beralih kepada satu titik. Entah kapan titik itu kusentuh.

Alexandria, 13 Agustus 2005 :10.05 p.m.

"Kamu kenapa?" tanya salah satu sahabatku padaku, yang melihat perubahan pada diriku. Ia mengira aku jenuh dengan perjalanan ini, ia pikir aku jenuh karena memang tak satupun dari gadis-gadis yang di rombongan itu kukenal dan mengenalku. Tapi sungguh bukan itu yang sedang mengusik kallbuku. Sesuatu yang indahlah yang membuatku terpontang-panting seperti ini.

Alexandria, 13 Agustus 2005 :11.00 p.m.

PANTAI MATRUH, dengan suasana ramai penuh kebisingan, teriak anak-anak bahagia, tapi aku kesepian, aku seakan kosong. Aku tak tahu sedang di mana diriku ini, "Ya Tuhan, inikah ketenangan yang pernah kau janjikan lewat hambamu yang bernama Hawa?". Sampailah aku di pantai Matruh, tujuan utama wisata kali ini. Gelap, ditemani lampu redup penuh rasa romantis, tapi aku tak butuh itu, karena aku sedang tidak mencintai Hawa, apapun suasananya aku tak begitu menghiraukan. AKU TAK PUNYA CINTA. Aku duduk di pinggir pantai menyendiri, tidak bersama teman-temanku yang lain, ada yang langsung bakar jagung, ada yang bermain bola tanpa cahaya. Ada yang langsung berenang di tepian pantai. Bermesraan bagi mereka yang sedang bercinta, aku hanya bisa tersenyum memandangi mereka yang bermain air. Aku memandang 'gadis itu' dia berjalan sendiri, dan menuju arah tepian pantai, aku memandanginya dengan puas, karena tak satupun temanku yang melihatku. Aku berusaha memasukkan tubuhnya dalam mataku. Tiba-tiba betapa kagetnya ketika aku melihatnya diseret teman-temannya untuk ikut 'basah-basahan', ia diseret menuju arah pantai, ia berteriak memohon untuk tidak diteruskan, ingin rasanya aku menolong dan berusaha untuk menyelamatkannya dari godaan temen-temennya. Tapi aku malu, aku bukan siapa-siapa yang berhak menyentuhnya.

Alexandria, 14 Agustus 2005 :08.00 a.m.

Pagi ini di pantai Ajibah, semua berenang di sana. Aku hanya memandangi bahagia 'gadis itu' di antara kerumunan teman-temannya di tepi pantai Ajibah, aku tersenyum bahagia, aku sudah cukup bahagia ketika memandanginya tersenyum, itu sudah terlalu lebih bagiku. Aku terlarut dalam lamunku "Hei, hayo kita kembali ke bus, kita lanjutkan perjalanan kita" seseorang sahabatku membangunkanku dari lamunku.

Alexandria, 14 Agustus 2005 :10.00 a.m.

Dalam bus, aku duduk menyandarkan punggungku begitu santai, tiba-tiba 'gadis itu' beralih duduk, dari semula di depanku, kini ia berada di bangku sampingku, aku kaget, aku nerveus aku semakin salah tingkah, aku mencoba tenang, aku harus memulai semua, aku nggak boleh takut, aku lelaki. "Am......" kugoda ia yang sedang makan, ia menoleh dan aku berusaha mengalihkan pandanganku darinya, kuulangi untuk yang kedua kalinya "Am ......" kata itu keluar tepat ia memasukkan sendok ke dalam mulutnya, ia menyahutku dan dengan lembut berkata "Aku makan kok diganggu sih?". Dengan pelan kujawab "Maaf, tapi izinkan aku ganggu kamu sekali lagi" kubalikkan pandanganku ke arah gitarku yang lama hanya kusentuh tanpa kupetik sama sekali, aku mainkan satu lagu, ANDAI GIGI. Tiba-tiba 'gadis itu' mengagetkanku dengan suaranya "Katanya mau godain satu kali lagi" betapa kagetnya aku, ingin rasanya aku ketawa tapi itu kupenuhi dan kuucap untuk yang ketiga kalinya "Am........". Sungguh ada rasa lain, ketika aku sudah mulai berbicara dengannya, semoga kebahagiaan ini adalah pertanda yang baik. Tapi kemudian, betapa kagetnya ketika aku melihat ia duduk dengan seorang cowok, walaupun aku yakin ia bukan siapa-siapanya. Tapi kenapa aku mesti CEMBURU? Rasa ini menggangguku, aku heran. Aku tak tahan melihat ia berdampingan dengan cowok lain, aku pindah dari tempat dudukku semula ke belakang. Aku berusaha untuk tidak mengingatnya, dengan tidur, dengan memainkan gitar, dengan berbincang.

Kairo, 15 Agustus 2005 :02.00 a.m.

Lelah, malam ini aku begitu lelah setelah rekreasi Matruh selama dua hari. Ketika aku taruh kakiku di bumi Kairo kembali, aku menghirup udara Kairo kembali dan aku merasa ada yang beda. Maka, aku tatap sekitar, semua gelap, sepi, hening. Hanya teman satu rombongan yang masih bersuara. Aku yang merasa sebagai tamu di dalam rekreasi kali ini, berterima kasih kepada semua teman-teman satu rombongan yang telah menerimaku apa adanya, merekapun menyambutku dengan bahagia. Aku meninggalkan parkir bus itu dengan pandanganku ke 'gadis itu' sebagai penutup kerinduanku padanya. Dalam hati bertanya, akankah setelah ini aku kan bertemu kembali dengannya?

Kairo, 24 September 2005

Lebih dari satu bulan sudah kusimpan rasa itu, aku masih merindukannya, semalam aku memimpikannya sampai tiga kali, aku tak tahu apa yang sedang mengganggu pikiranku. Tapi yang jelas aku butuh 'gadis itu', aku sendiri tak pernah menyangka kalau ternyata semua ini berawal dari rekreasi itu. Terbesit dalam hati kata-kata "Kalau boleh kuputar kembali waktu itu, aku ingin tidak ikut dalam rekreasi Matruh agar aku tak mengenalnya, 'gadis itu' yang selalu mengusik hatiku tak pasti". Kini aku makin sering bertemu dengannya. Namun aku adalah ketakutan, aku adalah kegelisahan, aku tak punya kekuatan untuk berkata apa-apa. Aku hanya mampu tersenyum dan tersenyum. Aku hanya mampu menanti dan menanti.

Kairo, 02 Oktober 2005

Makin kencang perasaan itu hantuiku, sedang dia, 'gadis itu' hanya terdiam membisu tak mampu pahami bahasa tubuhku, ia masih belum bisa memahami rasa yang selalu kutuangkan untuknya dalam setiap puisi yang kubuat untuknya, ia membacanya akupun mendengarkan itu. Ah sudahlah, aku lelah menanti, aku terlalu lemah untuk menahan terlalu lama tanpa kepastian, lebih baik aku ungkap semua yang terpendam dalam kalbu ini. Semoga kau tau tanpa harus kuungkap dengan kata, karena aku yakin engkau cukup bisa memahami bahasa hatiku, yang selalu menantimu, yang selalu berucap "menanti adalah aku".

Kupersembahakan untukmu,

yang telah lama kunanti dan kucinta.

Semoga setelah kutulis cerita ini,

penantian itu menjadi semua masa lalu.

Walaupun harus berakhir dengan pahit

aku akan menerima

wahai cintaku!

Dariku : Yang menantimu

Buatmu : Yang Kunanti

0 komentar: