Friday, December 02, 2005

Kumcer 4: Ujung Kelam Sebuah Impian

UJUNG KELAM SEBUAH IMPIAN

Pagi ini sama seperti pagi kemarin, udara dingin yang cukup menusuk sum-sum menjadikan mata menjadi berat untuk kubuka, pagi ini sama seperti pagi kemarin, hembusan angin sepoi menghamburkan gumpalan sahabat di gurun pasir di dekat asrama, mengantarkannya menuju rumah penduduk, nampak embun selimuti jendela kamar, menghapus perlahan penuh perasaan, serasa takut embun itu menangis saat ia diusap dan tak diizinkan tuk mencium jendela kamar ini, matahari perlahan muncul nampak kekuningan indah penuh rasa kasih sayang, menerangi hati, menerangi setiap renungan.

Ipung terhentak ketika mendengar suara adzan shubuh memanggilnya, dengan tubuh menggigil singkirkan selimut yang menemaninya dalam mimpi, ia langkahkan kaki beratnya menuju kamar mandi dengan mata yang dia yakin ia masih merindukan selimut merah mudanya.

"Udah bangun Pung" sapa Candra yang masih duduk di depan komputernya,

Ipung tidak menjawab dengan kata-kata, ia hanya menjawab dengan gigilan yang cukup kencang.

***

"Ya Allah, kuungkapkan keluh kesah hati ini kepada-Mu sebagai perasaan kalau aku masih cinta dunia-Mu ya Allah, sudah lama aku ingin menangis kencang, tapi hatiku terlalu keras sampai ia tak meneteskan setetes embun penyesalan, terlalu lama aku berkhianat pada orang tuaku ya Allah, langkah kakiku selalu terhenti sebelum tujuanku tercapai, aku selalu gagal mencapai jejak-jejak-Mu ya Allah, aku hina, apa yang akan kubanggakan dihadapan-Mu kelak ya Allah, aku tak punya apa-apa, aku bukan apa-apa ya Allah" tak terasa menetes di sela-sela pipinya air mata yang tak deras tapi cukup membanjiri alam semesta,

Perjalanan Ipung sudah cukup jauh, dalam perenungan ia mengingat sembilan tahun silam ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di tanah Yaman.

***

"Pung, kamu dipanggil Rektor tuch" sapa Piyu pelan,

"memang ada apa Yu?" tanya Ipung penasaran,

"nggak tahu, tadi waktu aku lewat depan kantor administrasi, Rektor minta tolong aku suruh manggil kamu" jelas Piyu sambil memandangi Ipung yang nampak ketakutan,

"tenang aja lagi Pung, lagian kamu kan nggak pernah ngelanggar, ngapain kamu mesti takut" nasihat Piyu sahabat Ipung satu kelas yang cukup akrab,

"iya juga ya Yu, kenapa aku mesti takut, aku ke ruang Rektor dulu ya" balas Ipung sambil beranjak dari ruang perpustakaan menuju ke ruang Rektor yang tidak terlalu jauh dari situ.

***

Dendangan suara merpati terdengar nyaring dari sela-sela angin berhembus, detak jantung saling berebut ruang, saling berkejaran entah menuju lembah yang mana lagi, sepoi-sepoi yang terasa adalah angin sesaat, hamba yakin angin malam ini kan meninggalkannya dan menjelma menjadi sengatan matahari esok hari, atau bahkan membasahinya dengan derasnya rintik-rintik hujan senja esok.

Dan untaian lagu-lagu hati berkata bahwa karya surga yang terindah adalah engkau wahai hati, ketika semua lari engkau justru yang datang menyapa manis dunia. Jejak langkah kaki dunia telah terasa indah ketika engkau dengar burung di pagi hari saling berdendang mesra saling menebarkan senyum pada yang ia cintai, dan akan terungkap semua dalam lembaran selanjutnya.

Sejak Ipung berada di pesantren ia selalu bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah di Al-ahqof University di Yaman, impian itu selalu menghantui hari-harinya semenjak ia mengenal nama itu sampai akhirnya cita-cita sudah tercapai, kini ia bukan lagi sedang bermimpi kini ia berada dalam alam mimpi itu sendiri, kecerdasannya adalah modal utama sehingga ia kini bisa membahagiakan semua orang yang mencintainya, mulai dari orang tuanya dan siapapun yang mengharapkan ia sukses.

"kamu yang namanya Ipung dari Indonesia ya?" mulai Rektor Baharun,

"iya pak, ada apa pak?" balas Ipung,

"duduk dulu, bapak mau bicara serius dengan kamu" sahut Rektor Baharun sambil mengambil kertas di antara tumpukan kertas yang ada di meja kerjanya,

Sedang Ipung hanya diam berusaha menenangkan kekalutan hatinya

"Pung, kamu mendapatkan kehormatan dari dewan Rektorat untuk menghadap Presiden" buka Rektor,

"kenapa mesti saya Pak?" tanya Ipung penuh keheranan sambil menggaruk-garuk kepalanya,

"karena yang diundang adalah mahasiswa asing terbaik tahun ini dan dia adalah kamu" jelas Rektor,

"maksud bapak?!?" tanya Ipung masih dengan kebingungannya,

"tidak sia-sia kamu jauh-jauh dari Indonesia meninggalkan orang tuamu, di tahun pertamamu kamu bisa mengalahkan begitu banyak mahasiswa, kamu yang terunggul di antara mereka Pung" jelas Rektor Baharun penuh sanjungan.

***

Rekor yang menakjubkan bagi Ipung, selama lima tahun ia menempuh program S1 di Al-ahqof predikat mumtaz tak pernah ia lewatkan, Ayahnya yang termasuk orang terpandang di Indonesia tidak merasa kecewa menuruti keinginan Ipung untuk melanjutkan kuliah di Yaman, semula Ayahnya mengharapkan kalau Ipung bisa meneruskan bisnis Ayahnya. Tapi, lama kelamaan Ayahnya sudah mulai bisa menyadari akan keinginan anak satu-satunya itu.

Dan kini Ayah Ipung baru bisa memasuki hati anaknya, ketika di tahun pertama ia bisa menghadiahkan kado istimewa berupa predikat mumtaz Ayahnya menaruh harapan kalau nantinya dengan bekal agama yang begitu banyak ia mampu mendirikan sebuah pesantren di kampungnya, bahkan Ayahnya memerintahkan Ipung untuk melanjutkan sampai jenjang S2.

***

"Pung, tugas dari Ustadz Ibrahim udah belum?" sapa Musa mengagetkan Ipung yang sedang serius belajar di meja belajarnya,

"bikin kaget aja kamu, ini lagi ngerjain" jawab Ipung sambil menggerakkan kepalanya ke arah tumpukan buku yang memenuhi meja belajarnya,

"wah bisa nyontoh nih, aku bener-bener butuh bantuanmu Pung, bimbing kek" desak Musa sambil merebahkan tubuhnya di kasur kecil sederhana yang sudah kusam,

"bimbingan?, nggak salah tuh, kamu tuh udah S2 men, sebentar lagi nama kamu tuh Muhammad Musa Wijaya MA men, udah tua masih minta bimbingan aja, kalau bimbingan nikah mau aku, nanti aku bimbing istrimu deh" ejek Ipung dengan keakrabannya,

Malam semakin larut meninggalkan rembulan meniti jejaknya sendiri, nampak keheningan selimuti bintang-bintang malam ini, hentakan angin yang berhembus kencang malam ini sedikit hancurkan relung kalbuku. Mungkin kini awan sudah bersedia menyapa derasnya cinta sang pagi begitu pula angin. Semua akan terungkap ketika angin sudah berwarna, ketika awan sudah tak bermakna.

Dari jendela tampak dengan penuh semangat dan penuh kegigihan Ipung bergelut dengan tumpukan diktat kuliah yang begitu tebal, setelah delapan tahun lamanya Ipung belum menginjakkan kakinya di tanah air tercinta berjuta rasa bercampur menjadi satu antara rindu dan berjuta rasa yang lain, namun semua itu tidak lepas dari satu tujuan, meraih impian dan cita-citanya.

Walau setiap kali Ayahnya menghubungi Ipung selalu mengabarkan kalau Ayahnya sudah mulai merintis pengajian kecil-kecilan untuk diteruskan Ipung, tapi Ipung terus dan terus berpikir kedepan apa yang akan dia lakukan setibanya di Indonesia nanti, sembilan tahun adalah waktu yang tidak sedikit, sedang bila dibandingkan dengan ilmu yang sekarang ia bawa tidaklah seberapa, itu yang selalu ia pikirkan, padahal dia adalah yang terbaik di antara ribuan mahasiswa asing lainnya, namun perasaan haus selalu menghantuinya.

Kelelahan membasuh sekujur tubuh Ipung, di tengah kelelahan itu ia mengamati jam yang setia menemani dinding kamarnya, hentakan jarumnya menuju arah empat dinihari, sedikit menggerakkan otot-otot tubuhnya yang semakin kaku, ia tolehkan sejenak kepalanya ke arah kasur yang ada di belakangnya nampak Musa tertidur pulas sambil merangkul diktat kuliahnya dengan mesra, bukan menjadi rahasia menjelang ujian buku adalah teman setia, ia akan menangis jika sedetik saja ia ditinggalkan.

Ipung berdiri dari duduknya, ia membereskan buku-bukunya yang terlalu banyak dan tak memiliki tempat di meja belajar itu. Setelah semua beres, ia memandang satu pemandangan yang aneh di sela-sela tumpukan buku-buku itu yang sudah lama tak ia sentuh, buku berwarna hitam, buku harian empat tahun yang lalu, semenjak ia lulus dari program S1 ia sudah tak lagi mengisi buku harian itu, ia buka perlahan lembaran demi lembaran buku itu, ia terhenti pada satu halaman ia mencoba membaca satu puisi yang ia tulis ketika mendengar kabar kalau Ibunya mengakhiri hidupnya karena sakit kanker darah yang diderita sejak kecil, ia baca lagi puisi itu,

"Ibu

malam ini aku rindu engkau ibu
belas kasihmu yang sampai kini
masih tertanam dalam hati putihku


ibu
kalau saja aku boleh menggapaimu
aku ingin engkau hadir dalam tiap mimpiku
aku ingin kau menemaniku tidur setiap malam


ibu
engkau paling mengerti isi hati
karena isi hatiku hanya ada satu
engkau ibu


ibu
dalam tiap lamunku, aku selalu menangis
setiap senyum yang selalu kau hadiahkan untukku ketika aku menangis
saat itu tangisanmu tamparku kencang


ibu
izinkan aku menggapaimu
kalau tak kau izinkan
biarkan aku di sini memandangmu dari kejauhan
karena hanya engkau cintaku

wahai ibu

Tak terasa genangan air mata itu terlalu deras membanjiri dunia maya. Bagaimana tidak, air mata seorang ibu telah tertuah hanya untuk dunia, maka dunia akan menyuguhkan tangisnya untuk seorang ibu. Ia meratapi betapa besar kasih seorang ibu dan belum sempat ia membalas belas kasih itu Ibunya sudah mendahuluinya.

"Pung udah selesai belajarnya?" sapa Musa yang tiba-tiba kagetkan Ipung dan menghamburkan lamunannya,

"udah bangun Mus?" balas Ipung sambil menghapus air mata di sekitar matanya, untung saja Musa masih belum sadar, Musa masih terkantuk matanya masih belum sempurna sehingga ia nggak tahu kalau Ipung habis menumpahkan air mata dengan begitu derasnya.

"aku kembali ke kamar dulu yah, nanti habis shubuh aku pinjem bukumu, aku lihat catetanmu" jawab Musa masih dengan mata tertutupnya dan berjalan keluar dari pintu kamar Ipung.

***

Waktu terlalu cepat hantam ratu dunia hingga kini ia lari tak menemani lagi, kini semua sudah terlewati, lagi-lagi di luar dugaan Ipung harus bangga dengan predikat Mumtaz untuk yang ke sembilan kalinya selama ia menempuh S1 dan S2 di Al-ahqof University.

Semua keluarga sudah menanti kedatangan putra kebanggaannya yang akan menginjakkan kakinya kembali di tanah air tercinta, untuk menjalankan amanah Ayahnya.

***

"kamu jadi pulang tanggal berapa?" sapa Jajang,

"besok pagi Jang, nanti malam ada tasyakuran kecil-kecilan di kamarku dateng ya" jawab Ipung simple,

"wah kita bakal kehilangan guru besar nih Pung, anak Indonesia yang di Yamankan nggak ada yang sehebat kamu, terus siapa yang kita banggakan di sini" balas Jajang penuh kesedihan,

"kamu juga bisa kok Jang, asal kamu mau usaha, semua itu akan terwujud bukan hanya dengan mimpi, bangun dan wujudkan impianmu" timpal Ipung menasihati.

***

Memang waktu terlalu cepat berlalu, tapi waktu tak punya pilihan lain lagi, ia berjalan tanpa mampu menghentikan gerak sang detik, pagi Hadromaut kali ini menyampaikan salam perpisahannya teruntuk Ipung, seseorang yang sudah dinanti-nanti kepulangannya di Indonesia

Tak satupun kata terucap, kini Ipung sudah berada dalam pesawat, ia lelah ingin tidur, mulai semalam ia belum sempat tidur karena dipaksa teman-temannya untuk menghabiskan malam terakhirnya dengan begadang ngobrol sampai subuh. Pesawat lepas landas dan berusaha meninggalkan tanah gersang negeri Yaman. Ipung tidak merasakan apa-apa, ia benar-benar ngantuk, ia langsung tidur dan tak mengingat apa-apa. Namun, tiba-tiba!!!!

Terdengar suara panik dan kalut dari penumpang yang lain membuat Ipung terbangun dan menatap ke jendela yang ada di sampingnya, air biru laut telah menanti kedatangan pesawat yang ditumpanginya, sayap pesawat patah entah mengapa dan .......!

0 komentar: