Friday, December 02, 2005

Kumcer 2: Untukmu yang Terindah

Untukmu yang Terindah

(Lanjutan Menanti Adalah Aku)

Kulihat mentari menutup matanya, aku sendiri di balkon rumahku, memandangi senja yang nampak terengah-engah menyapa dunia, mentari lari meninggalkan engkau yang dicintainya. Kulihat arloji di pergelangan tanganku, menunjukkan jam lima lebih limabelas menit, kudengar lantunan lagu dari arah kamar Bone teman serumahku.

Sedetik yang lalu aku teringat akan masa lalu, di mana ia meninggalkanku sendiri tanpa seutas peninggalan, Ria. Baru saja ia menelpon ke handponeku, ia mengabariku kalau ternyata ia memang benar-benar telah menikah dua bulan yang lalu.

“Dar, aku Ria” sapanya lembut,

“Oh iya Yah, ada apa?” sambutku kaget tapi dengan nadaku yang tetap berusaha tenang,

“Maafkan aku Dar, ini semua bukan kemauanku Dar”

“Ada apa? Masalah perkawinanmu, nggak apa-apa Yah, aku yakin yang kini sedang di sampingmu adalah yang terbaik untukmu, aku bahagia kamu bisa mendapatkan pangeran idamanmu”

“Kamu salah Dar, pangeran idamanku adalah kamu”

“Kamu salah Yah, aku hanyalah lintah busuk, bukan seorang pangeran yang kau damba”

Tanpa kusengaja, aku telah membuatnya menangis, ia sempat terhenti untuk melanjutkan pembicaraan ini.

“Yah, kuharap kamu jangan menangis, kamu nggak salah kalau kamu menikahi orang lain, aku gagal menjagamu, sejak pertama kali aku menginjakkan kakiku di Kairo aku sudah ragu kalau kamu kuat, dan keraguanku terbukti Yah, sudahlah, lakukan saja skenario Tuhan yang telah kita jalani”

“Dar, maafkan aku ya Dar” pintanya lagi,

“Sudah kubilang, kamu nggak salah, ini semua sudah menjadi catatan Ilahi, maka nikmatilah” ungkapku datar,

“Aku lega Dar, kamu bisa memaafkanku dan menerimaku apa adanya”

“Sudahlah lupakan hal itu”

“Oh ya, bagaimana Dar, cewek Kairo, pasti cantik-cantik, kenalkan dong pacar barumu”

“Aku masih belum menemukan penggantimu Yah”

“Carilah, aku yakin lebih banyak yang lebih baik dariku”

“Ia Mutiara, gadis Bandung yang mengusik hatiku Yah, sejak beberapa hari setelah aku mendengar kabar pernikahanmu aku bertemu ‘gadis itu’ dalam sebuah rekreasi Matruh, ia mengusik hatiku Yah”

“Terus, bagaimana hubunganmu dengan dia sekarang?”

“Aku tak seberani dulu lagi Yah, aku lemah dan lemas jika berada di depannya, layaknya abu yang ditiup angin lalu terhempas begitu saja”

Sejenak aku hentikan kata-kataku, aku menatap langit makin gelap, cahaya itu meninggalkanku, bintang itu berjalan perlahan menyapaku, kicauan burung-burung itu menemani senjaku. Kulihat ke arah lapangan dekat rumahku, ada segerombolan anak-anak yang sedang asik bermain sepak bola namun bukan dengan bola kaki, melainkan dengan bola tenis, aku terhentak dan berkata dalam hati, betapa bahagianya masa kanak-kanak. Hidup tanpa dosa, hidup tanpa tekanan, berjalan bebas, hidup selalu dicintai dan disayangi tanpa harus bingung membalas cinta dan kasih sayang itu.

“Bagaimana keadaan Indonesia saat ini Yah?”

“Sekarang musim hujan, dingin banget Dar, kalau musim dingin kayak begini. Aku selalu teringat waktu kita jalan-jalan di Malang dulu, kita kehujanan, basah kuyup, sampai aku dimarahi sama mamaku”

Aku hanya menjawabnya dengan senyum ingin menangis, mengapa harus kau ungkap lagi masa lalu itu.

“Iya Yah, aku masih mengingatnya”

“Oh iya Dar, gimana kelanjutan cerita Mutiara tadi, kamu harus ceritain sama aku, tentang itu semua”

“Udahlah Yah, mungkin dia bukan pilihan Tuhan untukku”

“Kamu jangan bicara kayak gitu, aku yakin kamu sayang banget sama dia, aku kenal kamu Dar, kamu tuch nggak pernah suka ama cewek yang salah, kamu orangnya selektif banget kalau milih pacar, dan aku yakin Mutiara adalah yang terbaik bagimu”

Aku tak bisa menjawab semua hantaman Ria padaku, diam adalah jalan satu-satunya. Nampaknya dunia makin suram, sejenak kupandangi senja sudah hilang, kini langit benar-benar hitam.

“Dar, Darsa kamu masih di situ kan?” tanya Ria keheranan,

“Iya Yah, aku masih di sini”

“Dar, demi aku, orang yang pernah kau cintai dan mencintaimu, ceritalah tentang Mutiara”

Aku tak mampu berucap apa-apa lagi, ketika ia mengatas namakan cinta yang pernah kujalin dengannya. Ya demi cinta aku akan ungkap semua.

“Waktu itu aku mengenalnya lewat tatapan mata indahnya, aku lemah Yah, aku yakin itu adalah bukti kalau aku mencintainya”

“Terus?”

“Lama aku nggak pernah ketemu lagi, ternyata aku makin rindu, aku makin yakin kalau aku butuh dia, aku kalut. Bahkan pernah satu malam aku memimpikannya sampai tiga kali, aku tak tahu rasa apa ini”

“Itu rasa cinta Dar, ungkapkanlah padanya”

“Ah aku takut ia akan menolak rasa tulusku Yah, aku masih belum terbiasa merasakan perihnya ditolak”

“Udahlah Dar, percaya padaku, perihnya ditolak tak seperih engkau memendam perasaanmu padanya, aku yakin itu lebih perih, engkau selalu dibayangi antara ia mencintaimu atau tidak. Lebih baik kau ungkapkan perasaanmu itu, engkau akan tahu apakah ia mencintaimu atau tidak. Ketika dia membalas cintamu, engkau kan bahagia, ketika ia menghempaskan cintamu, engkau akan terluka tapi hanya sejenak. Aku yakin ketika ia tahu rasa cintamu yang begitu mendalam padanya, ia akan membalas cintamu, sekeras-kerasnya hati seorang bidadari, ia akan lumpuh kalau yang memohon adalah pangeran bernama TULUS” ujar Ria begitu membuatku terpaku,

“Sudah kukatakan padamu, aku lemas ketika aku berada di depannya, aku tak mampu berkata-kata apa-apa, aku bukan Darsa yang kau kenal dulu Yah, yang begitu mudah mengatakan AKU CINTA KAMU. Aku tak bisa mengatakannya Yah, kasih jalan buatku”

“Kamu masih suka menulis cerpen kan?”

“Kenapa?”

“Tulis apa yang kau bicarakan saat ini denganku tanpa kau tambahi satu huruf pun, tulis dan jadikan sebuah cerpen lalu berikan kepadanya, aku ingin berpesan kepadanya, bidadari yang kau damba”

“Akan aku lakukan Yah”

“Secepatnya jangan kau tunda, biar engkau bisa lebih cepat mengerti hatinya”

“Iya Yah”

“Tulis di akhir cerpenmu, kata-kata Mutiara, jadilah engkau bidadari yang selalu memberikan kesejukan untuk Darsa, dulu aku adalah bidadarinya, namun aku gagal untuk memberikan kesejukan itu padanya. Maka aku berharap engkau bisa menjadi bidadarinya dan memberikan kesejukan itu sebagai tanda bahwa engkau adalah wanita”

“Mutiara, Darsa bukanlah lemah, tapi engkaulah yang terlalu kuat. Darsa bukanlah takut, tapi engkaulah yang terlalu sempurna membuat ia tak berkutik di depanmu. Walaupun aku belum pernah melihatmu. Tapi aku yakin engkau mampu untuk menjadi penjaga hati Darsa. Maka jagalah!”

“Dar, ingat! Jangan kamu kurangi kata-kataku, apalagi kamu tambahi. Satu lagi yang kupinta darimu. Beri judul cerpenmu UNTUKMU YANG TERINDAH”.

0 komentar: