Friday, December 02, 2005

Kumcer 3: Jejak Kaki Seorang Bidadari

Jejak Kaki Seorang Bidadari

Sudah aku duga, langit mendung pagi ini adalah sapaan semula sebelum menyambut hujan deras yang kan mengguyur kampusku. Aku langkahkan kakiku menelusuri desaku yang nampak permai. Mungkin semua yang mengenalku takkan mampu percaya apa yang sedang kurasa kini. Aku hanya mampu termenung di sudut surau dekat rumahku. Kalau aku pergi ke kampus aku hanya duduk diam termenung di bangkuku tanpa mengucap satu kata apapun. Rembulan tadi malam, bertanya kepadaku, “Mengapa engkau menjadi seperti ini, apakah engkau sakit?”. Bintang tadi malam memukul pundakku dan berkata “Jalani hidupmu dengan senyum, bukan dengan bermurung durja, engkau adalah gelap, yang denganmu aku sebagai bintang akan mampu menerangi bumi, tanpamu, cahayaku bukanlah apa-apa, aku yakin kalau aku tercipta dan muncul di pagi hari, manusia takkan ada yang menikmati dan memujiku”.

Sudah waktunya permadani ini kucuci dan kupajang kembali, agar semua hamba Tuhan mengerti dan memahami bahwa aku tetaplah utuh, aku merasa tidak ada yang berubah dalam diriku, mungkin aku hanya sedikit berubah menjadi pendiam, itupun aku rasa tidaklah terlalu berlebihan. Aku merasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Maka untuk apa aku berbicara. Hanya itu alasanku.

Sudah aku duga, hujan hari ini benar-benar deras, mengguyur sekujur tubuhku yang berlari kencang dari arah parkir mobilku menuju arah ruang A3. Aku berlari kencang meninggalkan air itu jatuh ke tanah menyegarkan bunga-bunga di taman. Aku tak menghiraukannya, bukuku basah, dan sampailah aku di gerbang gedung kampusku. Aku berjalan perlahan sambil sesekali membersihkan jaket hitamku. Aku memeluk tubuhku sendiri. Kutatap di depan sana ada tulisan ruang A3. Waw, tak kuduga, aku terlambat, semua yang ada di ruang itu, menoleh ke arah pintu ketika aku membuka pintu tanpa rasa berdosa. Tak terkecuali ‘dia’. Lagi-lagi tatapan mata itu. Ya Tuhan, apa ini!

Seusai jam kuliah aku langkahkan kakiku ke arah kantin di lantai dasar dekat perpustakaan umum, masih dengan busanaku yang basah. Aku tak perduli. Tiba-tiba……

“Hai” sapa seorang gadis kepadaku,

“Hai” balasku angkuh

“Kamu kenapa sih, kelihatan sekali perubahan yang ada dalam dirimu, kamu putus cinta? Jadian aja ama aku, gimana?”

“Enggak aku nggak kenapa-napa kok, aku cuma malas bicara aja”

“Putus cinta?”

“Putus? Kapan nyambungnya?” jawabku sambil meninggalkannya begitu saja.

Wahai waktu, aku butuh kamu sebagai saksi dan yang akan menjawab semuanya. Aku butuh kamu karena aku yakin hanya kamu bidadariku yang paling setia menemani langkah-langkahku. Walau aku tahu, engkau bukan hanya milikku. Tapi aku berhak menciummu dan kejadikan kamu sebagai mahkotaku, aku ingin mencontohmu, yang selalu berjalan tanpa harus menghiraukan orang lain. Engkau selalu beranjak dari tempatmu tanpa harus menuruti apa kata orang di sampingmu. Engkau menjadikan dirimu sebagai tempat bertanyamu, tanpa harus bergantung pada orang lain. Tidak seperti aku.

Wahai matahari, aku butuh kamu sebagai saksi yang akan menjawab semuanya. Aku butuh kamu karena aku yakin hanya kamu permaisuriku yang paling memperhatikanku. Kalau boleh aku berucap dan menjawab kepada semua yang bertanya mengapa aku bisa menjadi seperti saat ini. Maka akan kujawab, aku menjadi seperti saat ini karena ‘dia’. Tapi aku takut ‘dia’ kan lari, menghilang seiring dengan hilangnya detik saat ini. Maka, aku memilih diam, aku jalani langkah ini tanpa harus berucap kepada siapapun tentang uraian hatiku ini. Aku memulai hari ini dengan senyum dan akan kuakhiri hari ini dengan senyum pula.

Wahai jejak kakiku, menjadilah saksi kalau kakiku pernah mengotorimu, atau bahkan menyisakan berjuta kenangan untukmu. Karena semua yang tertoreh dalam kalbu adalah yang pernah aku bayangkan dalam mimpiku dalam lamunku. Lagi-lagi aku masih meyakini kalau aku masih tetap seperti yang dahulu, aku masih tetaplah aku yang hidup normal. “Bukan begitu wahai jejak kakiku?”.

Aku menikmati hari ini dengan santai di taman belakang rumahku. Duduk-duduk sambil membaca kumpulan puisi-puisiku yang pernah kutulis ketika aku masih sekolah di MAN 1 Surabaya dulu. Tiba-tiba ……

“Hai” sapa papaku mengagetkan,

“Eh, Papa”

“Baca apa kamu?”

“Oh ini, puisi waktu aku masih sekolah dudu Pa”

“Kamu kenapa, papa amati sekarang kamu lebih banyak diam, nggak rame kayak dulu lagi”

“Ah, itu perasaan papa aja, aku baik-baik aja kok”

“Kenapa? Kamu putus cinta?”

“Ah papa, putus? Kapan nyambungnya Pa” jawabku sama seperti yang kulontarkan kepada semua yang pernah menanyakan hal sama.

Malam dingin, aku duduk di meja belajarku. Aku mengamati komputerku yang dari tadi hidup namun tak kusentuh sama sekali, aku hanya memainkan keybordku tanpa tujuan yang jelas. Makin lama, aku makin bingung. Mengapa setiap yang menanyakan ahwal-ku selalu mengatakan ‘PUTUS’. “Perasaan aku nggak pernah pacaran?” Ah sudahlah, persetan dengan hal itu, aku anggap itu semua sebagai rasa perhatian mereka kepadaku.

Tanpa terasa aku telah menumpahkan susu yang baru aku buat. Susu itu membasahi lantai kamarku, aku ambil kain lap di dalam kamar mandi dan kubasuh susu itu dengan perlahan, aku tidak akan membasuhnya dengan kasar, karena aku yakin kekasaran bisa menyakitkan. Aku takut lantaiku yang lembut dan halus akan merintih kesakitan karena aku menggosoknya dengan keras. Aku yakin ketika lantaiku terkena susu panasku, ia sudah cukup kesakitan. Aku tidak akan menambahi rasa sakit itu padanya lagi.

Tika, gadis manis, sahabat karibku sejak SD, ia akan melaksanakan pernikahannya minggu depan, keinginan untuk melaksanakan pernikahan itu sudah satu bulan yang lalu ia katakan kepadaku. Ia juga melihat perubahan pada diriku, berusaha mencari apa yang sedang terjadi padaku. Ia menelponku, ia mengajakku, jalan-jalan ke Malioboro Mall, aku iyakan apa yang menjadi keinginan sahabat karibku. Bagiku, Tika telah banyak memberikan sesuatu yang selalu jadi impianku. Maka, aku akan turuti keinginannya.

MALIOBORO MALL, malam ini kan menjadi penutup hariku. Aku langkahkan kaki perlahan sambil mencarinya. Aku janjian dengan Tika di depan ATM BCA di depan pintu utama. Aku sudah berada di depan ATM ini, aku duduk di tangga dekat ATM tapi tak kulihat Tika. Aku berusaha sabar menunggu. Kulihat arloji di tanganku sudah lebih dari setengah jam aku menunggunya. Tapi

“Hai”

“Sialan, lama banget sih, aku kan udah lama nunggu kamu”

“Maaf deh”

“Ya udah masuk yuk”

“Entar dulu, ada yang pengen ngomong tuh sama kamu”
”Siapa?” tanyaku sambil mencari-cari,

“Dia di ATM BCA tuh, masuk gih, cepetan”

Kugoyangkan kakiku perlahan, sambil bertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Aku hanya bisa mengamatinya dari belakang, aku harus masuk agar aku tahu siapa gerangan dirinya. Kubuka pintu perlahan dan iapun menoleh.

“Hai”

“Eh iya” jawabku terbata-bata,

“Kenapa, kaget ya ngeliat aku di sini. Maaf deh, aku cuma disuruh Tika kok”

“Emang kamu disuruh apa?”

“Aku disuruh nanyain ke kamu, kenapa akhir-akhir ini kamu jadi berubah”

“Emang menurut kamu aku berubah?”

“Iya”

Aku tak tahu, mengapa ketika berada di depannya aku tak mampu berbohong, aku harus mengatakan yang sebenarnya.

“Aku sedang berusaha menghilangkan jejak kaki seorang bidadari dalam hatiku”

“Maksudmu?”

“Aku sedang mencintai seorang bidadari, dan bidadari itu meninggalkan jejak kakinya dalam hati terdalamku”

“Ungkapkanlah perasaan itu padanya”

“Ada masalah besar”

“Apa?”

“Aku takut kalau aku ungkapkan dia nggak mau melihat aku lagi”

“Nggak mungkin”

“Ada lagi masalah yang besar”

“Apa?”

“Aku merasakan dia tidak mencintaiku, dan ketika aku mengungkapkan perasaanku itu namanya nggak tahu diri”

“Nggak mungkin, ungkapin aja dulu, kalau harus sakit itu adalah manusiawi”

“Satu lagi masalahnya”

“Apa?”

“Bidadari itu adalah kamu”

Seketika itu ia tertunduk, entah malu atau mau, yang jelas aku langsung mengakatan pungkasan kepadanya.

“Kamu nggak usah menjawab ini Di, kalaupun kamu tidak menerimaku, aku ikhlas, akan aku bersihkan jejak kakimu dalam hatiku secepatnya, agar tidak terlalu lama aku mengingatmu terus, setiap kali aku melihat jejak itu” ungkapku sambil membuka pintu ATM BCA.

Tiba-tiba ia memegang tanganku erat, membalikkan tubuhku yang besar dengan sepenuh kekuatannya. Tanpa menjawab, ia langsung memelukku sepenuh rasa. Aku hanya tersenyum. Aku yakin pelukannya ini adalah jawaban dari ungkapan hatiku. Terima kasih wahai jejak kaki seorang bidadari, berkat jejak itu aku bisa meraih hati bidadari yang meninggalkan jejak itu dalam hatiku. Tanpa jejak itu aku takkan mengenal siapa gerangan dirinya.

0 komentar: