Tuesday, December 06, 2005

Puisi Biasa: IBU

IBU

ibu

malam ini aku rindu engkau ibu

belas kasihmu yang sampai kini

masih tertanam dalam hati putihku

ibu

kalau saja aku boleh menggapaimu

aku ingin engkau hadir dalam tiap mimpiku

aku ingin kau menemaniku tidur setiap malam


ibu

engkau paling mengerti isi hati

karena isi hatiku hanya ada satu

engkau ibu


lelah

tanpa rambu aku berputar

dalam kerisauan

dalam keramaian

dalam kebisingan

meraih impiku dalam sepi

ibu

kuhadirkan engkau dalam sepi ini

kuhadirkan engkau dalam rapuhku

dalam seratus dua di dua puluh empatku

aku rapuh ibu

kini aku terapung dan terbuang jauh

dalam hatiku

hanya engkau yang datang lalu meraihku

kini aku hadir untuk engkau ibu

atau mungkin bukan sekarang

yang pasti hanya untuk engkau ibu

Kairo, 12-01-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 16: Pukul Dua Kurang Dua Menit

PUKUL DUA KURANG DUA MENIT

malam ini membangunkanku

malam ini membuatku terjaga dari lamunku

malam ini menyadarkanku

bahwa puisi yang pernah aku tulis dulu benar

ketika aku tuliskan bahwa tidak setiap yang manis adalah cinta

bahwa tidak setiap yang pahit adalah dusta

malam ini aku terjebak dalam lamun sesaatku

malam ini aku terjerumus dalam mimpi malam itu

malam ini aku mengenalnya

bahwa tetes embun yang pernah aku rasakan dulu benar

ketika embun itu memberikan kesejukan

tapi hanya sesaat lalu hilang meninggalkanku begitu saja

malam ini dia adalah malam

gelap

sunyi

hampa

malam ini tepat pukul dua kurang dua menit

Kairo, 24-10-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 15: Catatan Lima Belas Agustus 2005

CATATAN LIMA BELAS AGUSTUS 2005

kutorehkan tinta kebahagiaan itu

dalam lembaran kenangan

baru saja rasa menjadi debu

ketika sinar mentari itu menyilaukan mataku

sejenak aku terhenti tak percaya

mungkin ini adalah kado spesial

yang terindah yang kudapat dari

penguasa dunia

maka

izinkan hambamu berucap syukur

berucap terima kasih

atas cinta yang tak pernah menghilang dari lubuk hatiku

Kairo, 15-08-2005 (pengumuman kenaikan)

Selengkapnya...

Puisi Biasa 14: Sahabat

SAHABAT

aku terbangun

kulihat ada daun yang jatuh

kuamati ada pohon yang rapuh

kutatap ada mega yang kelam

entah mengapa semua suram dan begitu kelam

wajah cinta berubah menjadi benci

masa-masa di saat senyum bagai angin

yang selalu datang walau aku tak menyapa

rasa sayang berubah menjadi dendam

saat pelukan masih indah untuk dinikmati

aku masih bisa sedikit menundukkan wajahku

kini aku terapung

bagai cat tembokku yang mulai mengelupas

begitu pula hatiku

hancur

Tuhan.....

haruskah kini aku kembali hidup

tanpa orang yang mencintaiku

tanpa ada orang yang sayang aku

menemaniku di dalam dekapan kelembutan

haruskah kini aku kembali hidup

dikelilingi sorot mata kebencian

dipenuhi rasa muak

padahal ia juga kotor

tak sempurna hatinya kosong akan kasih sayang

kosong akan kelembutan

yang kurasa kini hanya benci

Tuhan.....

aku ingin sedikit tenang menyelam

menjadikan masa laluku sebagai cermin

yang ketika aku tak lagi di depan cermin

bayangankupun turut sirna

hilang entah ke mana

Kairo, 17-05-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 13: Catatan Tinta Emas

CATATAN TINTA EMAS

renunganku terasa hampa

lamunanku makin menjadi-jadi

berkata dalam hati sang raja

"manusia adalah lembaran kapas"

kalau saja hamba boleh cemas

hembusan sabda baginda ratu pada

hamparan padang pasir terlalu kencang

terasa terlalu perih untuk kukenang

masa yang perih

rasa yang perih

dan semua keperihan ternyata indah

Kairo, 28-04-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 12: Perempuan

PEREMPUAN

terlempar keras wahai rasa

mimpiku tadi malam wahai rasa

adalah untaian atau tuduhan

atau bisa jadi itu adalah tamparan rasa

perempuan

menangis kalau ingin menangis

perempuan

terbahak kalau hati penuh bunga

perempuan

saat ini aku ingin engkau belajar mengenal

mengenal tentang bunga yang engkau agungkan

mengenal tentang air mata yang engkau hancurkan

perempuan

kuajak engkau masuk sejenak dalam duniaku

menikmati indahnya dunia arjuna

agar engkau tak hanya pandai menangis dan tertawa

di sini...

mata terbang sejenak

menepis....

terkikis.....

lagu-lagu indah itu adalah aku

lagu-lagu yang tersurat darimu adalah duri

perempuan

engkau tak pernah sadar

kuingin sejenak engkau sadar

bahwa mata kini meneteskan lahar kebencian

Kairo, 26-02-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 11: Atas Nama Cinta

ATAS NAMA CINTA

peraturan......pertikaian......peraturan

aku benci semua itu

aku ingin muntah jika kudengar kata-kata busuk itu

kelingking jemariku adalah engkau

tertancap jiwa seorang sahabat

menangis kecil dalam hati

tertawa kencang bukan layaknya kambing

sahabat

karena itu engkau tertawa kecil

karena itu engkau menangis kencang

dalam tumpuan hatimu akupun menangis

kini masih terlintas

ada yang mengusik tentang saat itu

aku ingat benar

karena dia aku hampir terbuang

karena sang bangsat aku hampir tergusur

karena peraturan pertikaian dan permusuhan

aku hampir mati

kini engkau yang merasakan itu semua

aku heran

mana otak mereka kalau memang mereka masih merasa manusia

kalau memang mereka tak lagi berotak

mengapa nama MANUSIA masih melekat di pantatnya

dan kalau ia memang berotak seharusnya ia bisa menjadi manusia sesungguhnya

sahabat

kuharap engkau tabah

kebebasan adalah milik kita

kalau ada yang tak sejari dengan tanganmu

hantam

aku mendukungmu dengan cinta

dengan hati seorang sahabat

apapun kamu,

siapapun kamu,

seburuk apapun kamu,

engkau sahabatku,

dalam sepi aku bertarung dengan malam

aku berkemelut dengan siang

aku menampar keras sang senja

karena mereka membencimu

sahabatku

Kairo, 26-01-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 10: Catatan Hari Ini

CATATAN HARI INI

detik-detik itu ditemani angka dua

lebih dari itu atau mungkin

terlintas dalam pelita benak rembun hati

bahwa aku ingini sesuatu

ternyata

rintik-rintik hujan juga temani

dalam kebisingan cinta

dalam keramaian kata

aku terbawa dalam angan

hingga aku bermimpi

mimpi tentang seseorang yang kelaparan

ia sedang menangis

Kairo, 12-01-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 9: Lama Masa Ini

LAMA MASA INI

dalam sepi kusendiri

bersama ular hidup

mengisyaratkan hidup penuh arti

hari ini aku mati

dalam kesendirianku di kehampaan

tertusuk mati oleh kerasukan

keserakahan yang sungguh

itu bukanlah berarti

aku tertatih dalam kehampaan

termenung dan menangis

lalu tertunduk dan aku ingin berucap

bunga mekarlah

Kairo, 11-01-2005

Selengkapnya...

Puisi Biasa 8: Makin Jauh

MAKIN JAUH

kenapa engkau lari

bisa jadi hujan itu makin kencang mengejarmu

kenapa engkau berteduh

bisa jadi hujan itu akan menambrakmu

lebih baik santai

walau dari kirimu angin kencang menambrak

aku sudah melihat lima susunan kotak itu

di mata tapi masih jauh kurasa

Kairo, 05-12-2004

Selengkapnya...

Puisi Biasa 7: Kemaluanku Putus

KEMALUANKU PUTUS

aku malu

hari ini sangat sepi

kupotong lebih dari tiga puluh potongan masa lalu

berlapis duapuluh empat kulempar enampuluh kali

yang kudapat hanya kosong

kalau saja aku bisa lebih mengerti

tentunya

kemaluanku masih utuh

Kairo, 05-12-2004

Selengkapnya...

Puisi Biasa 6: S@toe

S@toe

semua kurasa satu

ketika ratusan yang kuharap

sama

mulai dari ujung jemari kiriku

sampai kuku kananku

semua sama..... kuharap......

mungkin tak seperti apa yang kini kuinjak

jeruji besi itu nampak murung

ia marah atau bahkan dendam padaku

jejak-jejak telapak bercumbu dengan debu

yang selalu menyayat kulit sang baginda ratu

satu lagi....

aku adalah debu itu yang terkadang diinjak

tapi tak jarang menamparmu

ingat!

Kairo, 01-11-2004

Selengkapnya...

Puisi Biasa 5: Satu Setengah Jam Lagi

SATU SETENGAH JAM LAGI

di sana

adalah tempat aku terbaring

tempat aku meraung kesakitan

yang suatu saat aku akan berlari jauh dari tempat itu

di sana

aku akan menggoreskan tinta emas berwarna hitam kecoklatan

tinta tentang arti perjalananku

tinta yang tak tahu kebohongan

tinta yang tak mengenal kelicikan

tinta yang tak mengerti tentang makna dusta

aku yang berlari di sini

aku yang mengejar kejujuran

akan sampai di gubuk itu

satu setengah jam lagi dari sekarang

Kairo, 28-10-2004

Selengkapnya...

Puisi Biasa 4: Siang Ini

SIANG INI

siang ini

aku tertidur dan bermimpi

tentang sesuatu yang hilang

siang ini

anjing di sebelah rumah

di seberang jalan sana

melolong dengan keras

siang ini

beribu debu menampar wajah anjing itu

terjatuh

ambruk

dan akhirnya hanya rapuhnya rotan

pohon cemaralah yang bisa

dan biasa tersenyum padaku

aku adalah dia

Kairo, 22-10-2004

Selengkapnya...

Puisi Biasa 3: Antara Teman dan....

ANTARA TEMAN DAN.....

teman

kau hebat

senyummu adalah senyumku

senyumku adalah rasamu

teman

aku kagum padamu

sehelai rambutkupun pernah berkata sama

justru ialah yang mengajarkanku

pada setiap makna tetes embun di rerumputan

ialah yang mengenalkanku

pada arti setiap tetes gerimis di atas genteng surau ini

teman

ya aku merindukannya

rindu akan keindahan hidup yang ia ukir bersamaku

Kairo, 22-10-2004

Selengkapnya...

Puisi Biasa 2: Titik-titik

TITIK-TITIK

nah

betulkan apa yang dikatakan daun-daun itu?

kini aku sadar

bahwa seharusnya daun adalah manusia

dan manusia menjadi daun

agar ia bisa diam

tak hanya pandai berdusta

'kerdil' tepi pantai sana

dulu adalah sahabatku

tapi kini dia adalah anjing

bahkan hantu bagiku

heh... debu di dinding rumahku tertawa

dan berkata:

"manusia.... manusia

kau itu goblak

hidup hanya mati!"

Kairo, 22-10-2004

Selengkapnya...

Puisi Biasa 1: 'B'

B

pernah satu impianku terbang

lalu jatuh di pelataran seberang jalan sana

sambil berjalan

kutatap perlahan

tidak!

bukan!

aku tak pantas

kulihat isi timba itu adalah emas

namun aku justru membuat emas itu

untuk dinding toiletku

yang aku tahu

bahwa rasa adalah satu

entah itu apa

hati kecilku pun tak tahu

apalagi kamu

Kairo, 21-10-2004

Selengkapnya...

Friday, December 02, 2005

Kumcer 4: Ujung Kelam Sebuah Impian

UJUNG KELAM SEBUAH IMPIAN

Pagi ini sama seperti pagi kemarin, udara dingin yang cukup menusuk sum-sum menjadikan mata menjadi berat untuk kubuka, pagi ini sama seperti pagi kemarin, hembusan angin sepoi menghamburkan gumpalan sahabat di gurun pasir di dekat asrama, mengantarkannya menuju rumah penduduk, nampak embun selimuti jendela kamar, menghapus perlahan penuh perasaan, serasa takut embun itu menangis saat ia diusap dan tak diizinkan tuk mencium jendela kamar ini, matahari perlahan muncul nampak kekuningan indah penuh rasa kasih sayang, menerangi hati, menerangi setiap renungan.

Ipung terhentak ketika mendengar suara adzan shubuh memanggilnya, dengan tubuh menggigil singkirkan selimut yang menemaninya dalam mimpi, ia langkahkan kaki beratnya menuju kamar mandi dengan mata yang dia yakin ia masih merindukan selimut merah mudanya.

"Udah bangun Pung" sapa Candra yang masih duduk di depan komputernya,

Ipung tidak menjawab dengan kata-kata, ia hanya menjawab dengan gigilan yang cukup kencang.

***

"Ya Allah, kuungkapkan keluh kesah hati ini kepada-Mu sebagai perasaan kalau aku masih cinta dunia-Mu ya Allah, sudah lama aku ingin menangis kencang, tapi hatiku terlalu keras sampai ia tak meneteskan setetes embun penyesalan, terlalu lama aku berkhianat pada orang tuaku ya Allah, langkah kakiku selalu terhenti sebelum tujuanku tercapai, aku selalu gagal mencapai jejak-jejak-Mu ya Allah, aku hina, apa yang akan kubanggakan dihadapan-Mu kelak ya Allah, aku tak punya apa-apa, aku bukan apa-apa ya Allah" tak terasa menetes di sela-sela pipinya air mata yang tak deras tapi cukup membanjiri alam semesta,

Perjalanan Ipung sudah cukup jauh, dalam perenungan ia mengingat sembilan tahun silam ketika pertama kali ia menginjakkan kaki di tanah Yaman.

***

"Pung, kamu dipanggil Rektor tuch" sapa Piyu pelan,

"memang ada apa Yu?" tanya Ipung penasaran,

"nggak tahu, tadi waktu aku lewat depan kantor administrasi, Rektor minta tolong aku suruh manggil kamu" jelas Piyu sambil memandangi Ipung yang nampak ketakutan,

"tenang aja lagi Pung, lagian kamu kan nggak pernah ngelanggar, ngapain kamu mesti takut" nasihat Piyu sahabat Ipung satu kelas yang cukup akrab,

"iya juga ya Yu, kenapa aku mesti takut, aku ke ruang Rektor dulu ya" balas Ipung sambil beranjak dari ruang perpustakaan menuju ke ruang Rektor yang tidak terlalu jauh dari situ.

***

Dendangan suara merpati terdengar nyaring dari sela-sela angin berhembus, detak jantung saling berebut ruang, saling berkejaran entah menuju lembah yang mana lagi, sepoi-sepoi yang terasa adalah angin sesaat, hamba yakin angin malam ini kan meninggalkannya dan menjelma menjadi sengatan matahari esok hari, atau bahkan membasahinya dengan derasnya rintik-rintik hujan senja esok.

Dan untaian lagu-lagu hati berkata bahwa karya surga yang terindah adalah engkau wahai hati, ketika semua lari engkau justru yang datang menyapa manis dunia. Jejak langkah kaki dunia telah terasa indah ketika engkau dengar burung di pagi hari saling berdendang mesra saling menebarkan senyum pada yang ia cintai, dan akan terungkap semua dalam lembaran selanjutnya.

Sejak Ipung berada di pesantren ia selalu bermimpi untuk bisa melanjutkan kuliah di Al-ahqof University di Yaman, impian itu selalu menghantui hari-harinya semenjak ia mengenal nama itu sampai akhirnya cita-cita sudah tercapai, kini ia bukan lagi sedang bermimpi kini ia berada dalam alam mimpi itu sendiri, kecerdasannya adalah modal utama sehingga ia kini bisa membahagiakan semua orang yang mencintainya, mulai dari orang tuanya dan siapapun yang mengharapkan ia sukses.

"kamu yang namanya Ipung dari Indonesia ya?" mulai Rektor Baharun,

"iya pak, ada apa pak?" balas Ipung,

"duduk dulu, bapak mau bicara serius dengan kamu" sahut Rektor Baharun sambil mengambil kertas di antara tumpukan kertas yang ada di meja kerjanya,

Sedang Ipung hanya diam berusaha menenangkan kekalutan hatinya

"Pung, kamu mendapatkan kehormatan dari dewan Rektorat untuk menghadap Presiden" buka Rektor,

"kenapa mesti saya Pak?" tanya Ipung penuh keheranan sambil menggaruk-garuk kepalanya,

"karena yang diundang adalah mahasiswa asing terbaik tahun ini dan dia adalah kamu" jelas Rektor,

"maksud bapak?!?" tanya Ipung masih dengan kebingungannya,

"tidak sia-sia kamu jauh-jauh dari Indonesia meninggalkan orang tuamu, di tahun pertamamu kamu bisa mengalahkan begitu banyak mahasiswa, kamu yang terunggul di antara mereka Pung" jelas Rektor Baharun penuh sanjungan.

***

Rekor yang menakjubkan bagi Ipung, selama lima tahun ia menempuh program S1 di Al-ahqof predikat mumtaz tak pernah ia lewatkan, Ayahnya yang termasuk orang terpandang di Indonesia tidak merasa kecewa menuruti keinginan Ipung untuk melanjutkan kuliah di Yaman, semula Ayahnya mengharapkan kalau Ipung bisa meneruskan bisnis Ayahnya. Tapi, lama kelamaan Ayahnya sudah mulai bisa menyadari akan keinginan anak satu-satunya itu.

Dan kini Ayah Ipung baru bisa memasuki hati anaknya, ketika di tahun pertama ia bisa menghadiahkan kado istimewa berupa predikat mumtaz Ayahnya menaruh harapan kalau nantinya dengan bekal agama yang begitu banyak ia mampu mendirikan sebuah pesantren di kampungnya, bahkan Ayahnya memerintahkan Ipung untuk melanjutkan sampai jenjang S2.

***

"Pung, tugas dari Ustadz Ibrahim udah belum?" sapa Musa mengagetkan Ipung yang sedang serius belajar di meja belajarnya,

"bikin kaget aja kamu, ini lagi ngerjain" jawab Ipung sambil menggerakkan kepalanya ke arah tumpukan buku yang memenuhi meja belajarnya,

"wah bisa nyontoh nih, aku bener-bener butuh bantuanmu Pung, bimbing kek" desak Musa sambil merebahkan tubuhnya di kasur kecil sederhana yang sudah kusam,

"bimbingan?, nggak salah tuh, kamu tuh udah S2 men, sebentar lagi nama kamu tuh Muhammad Musa Wijaya MA men, udah tua masih minta bimbingan aja, kalau bimbingan nikah mau aku, nanti aku bimbing istrimu deh" ejek Ipung dengan keakrabannya,

Malam semakin larut meninggalkan rembulan meniti jejaknya sendiri, nampak keheningan selimuti bintang-bintang malam ini, hentakan angin yang berhembus kencang malam ini sedikit hancurkan relung kalbuku. Mungkin kini awan sudah bersedia menyapa derasnya cinta sang pagi begitu pula angin. Semua akan terungkap ketika angin sudah berwarna, ketika awan sudah tak bermakna.

Dari jendela tampak dengan penuh semangat dan penuh kegigihan Ipung bergelut dengan tumpukan diktat kuliah yang begitu tebal, setelah delapan tahun lamanya Ipung belum menginjakkan kakinya di tanah air tercinta berjuta rasa bercampur menjadi satu antara rindu dan berjuta rasa yang lain, namun semua itu tidak lepas dari satu tujuan, meraih impian dan cita-citanya.

Walau setiap kali Ayahnya menghubungi Ipung selalu mengabarkan kalau Ayahnya sudah mulai merintis pengajian kecil-kecilan untuk diteruskan Ipung, tapi Ipung terus dan terus berpikir kedepan apa yang akan dia lakukan setibanya di Indonesia nanti, sembilan tahun adalah waktu yang tidak sedikit, sedang bila dibandingkan dengan ilmu yang sekarang ia bawa tidaklah seberapa, itu yang selalu ia pikirkan, padahal dia adalah yang terbaik di antara ribuan mahasiswa asing lainnya, namun perasaan haus selalu menghantuinya.

Kelelahan membasuh sekujur tubuh Ipung, di tengah kelelahan itu ia mengamati jam yang setia menemani dinding kamarnya, hentakan jarumnya menuju arah empat dinihari, sedikit menggerakkan otot-otot tubuhnya yang semakin kaku, ia tolehkan sejenak kepalanya ke arah kasur yang ada di belakangnya nampak Musa tertidur pulas sambil merangkul diktat kuliahnya dengan mesra, bukan menjadi rahasia menjelang ujian buku adalah teman setia, ia akan menangis jika sedetik saja ia ditinggalkan.

Ipung berdiri dari duduknya, ia membereskan buku-bukunya yang terlalu banyak dan tak memiliki tempat di meja belajar itu. Setelah semua beres, ia memandang satu pemandangan yang aneh di sela-sela tumpukan buku-buku itu yang sudah lama tak ia sentuh, buku berwarna hitam, buku harian empat tahun yang lalu, semenjak ia lulus dari program S1 ia sudah tak lagi mengisi buku harian itu, ia buka perlahan lembaran demi lembaran buku itu, ia terhenti pada satu halaman ia mencoba membaca satu puisi yang ia tulis ketika mendengar kabar kalau Ibunya mengakhiri hidupnya karena sakit kanker darah yang diderita sejak kecil, ia baca lagi puisi itu,

"Ibu

malam ini aku rindu engkau ibu
belas kasihmu yang sampai kini
masih tertanam dalam hati putihku


ibu
kalau saja aku boleh menggapaimu
aku ingin engkau hadir dalam tiap mimpiku
aku ingin kau menemaniku tidur setiap malam


ibu
engkau paling mengerti isi hati
karena isi hatiku hanya ada satu
engkau ibu


ibu
dalam tiap lamunku, aku selalu menangis
setiap senyum yang selalu kau hadiahkan untukku ketika aku menangis
saat itu tangisanmu tamparku kencang


ibu
izinkan aku menggapaimu
kalau tak kau izinkan
biarkan aku di sini memandangmu dari kejauhan
karena hanya engkau cintaku

wahai ibu

Tak terasa genangan air mata itu terlalu deras membanjiri dunia maya. Bagaimana tidak, air mata seorang ibu telah tertuah hanya untuk dunia, maka dunia akan menyuguhkan tangisnya untuk seorang ibu. Ia meratapi betapa besar kasih seorang ibu dan belum sempat ia membalas belas kasih itu Ibunya sudah mendahuluinya.

"Pung udah selesai belajarnya?" sapa Musa yang tiba-tiba kagetkan Ipung dan menghamburkan lamunannya,

"udah bangun Mus?" balas Ipung sambil menghapus air mata di sekitar matanya, untung saja Musa masih belum sadar, Musa masih terkantuk matanya masih belum sempurna sehingga ia nggak tahu kalau Ipung habis menumpahkan air mata dengan begitu derasnya.

"aku kembali ke kamar dulu yah, nanti habis shubuh aku pinjem bukumu, aku lihat catetanmu" jawab Musa masih dengan mata tertutupnya dan berjalan keluar dari pintu kamar Ipung.

***

Waktu terlalu cepat hantam ratu dunia hingga kini ia lari tak menemani lagi, kini semua sudah terlewati, lagi-lagi di luar dugaan Ipung harus bangga dengan predikat Mumtaz untuk yang ke sembilan kalinya selama ia menempuh S1 dan S2 di Al-ahqof University.

Semua keluarga sudah menanti kedatangan putra kebanggaannya yang akan menginjakkan kakinya kembali di tanah air tercinta, untuk menjalankan amanah Ayahnya.

***

"kamu jadi pulang tanggal berapa?" sapa Jajang,

"besok pagi Jang, nanti malam ada tasyakuran kecil-kecilan di kamarku dateng ya" jawab Ipung simple,

"wah kita bakal kehilangan guru besar nih Pung, anak Indonesia yang di Yamankan nggak ada yang sehebat kamu, terus siapa yang kita banggakan di sini" balas Jajang penuh kesedihan,

"kamu juga bisa kok Jang, asal kamu mau usaha, semua itu akan terwujud bukan hanya dengan mimpi, bangun dan wujudkan impianmu" timpal Ipung menasihati.

***

Memang waktu terlalu cepat berlalu, tapi waktu tak punya pilihan lain lagi, ia berjalan tanpa mampu menghentikan gerak sang detik, pagi Hadromaut kali ini menyampaikan salam perpisahannya teruntuk Ipung, seseorang yang sudah dinanti-nanti kepulangannya di Indonesia

Tak satupun kata terucap, kini Ipung sudah berada dalam pesawat, ia lelah ingin tidur, mulai semalam ia belum sempat tidur karena dipaksa teman-temannya untuk menghabiskan malam terakhirnya dengan begadang ngobrol sampai subuh. Pesawat lepas landas dan berusaha meninggalkan tanah gersang negeri Yaman. Ipung tidak merasakan apa-apa, ia benar-benar ngantuk, ia langsung tidur dan tak mengingat apa-apa. Namun, tiba-tiba!!!!

Terdengar suara panik dan kalut dari penumpang yang lain membuat Ipung terbangun dan menatap ke jendela yang ada di sampingnya, air biru laut telah menanti kedatangan pesawat yang ditumpanginya, sayap pesawat patah entah mengapa dan .......!

Selengkapnya...

Kumcer 3: Jejak Kaki Seorang Bidadari

Jejak Kaki Seorang Bidadari

Sudah aku duga, langit mendung pagi ini adalah sapaan semula sebelum menyambut hujan deras yang kan mengguyur kampusku. Aku langkahkan kakiku menelusuri desaku yang nampak permai. Mungkin semua yang mengenalku takkan mampu percaya apa yang sedang kurasa kini. Aku hanya mampu termenung di sudut surau dekat rumahku. Kalau aku pergi ke kampus aku hanya duduk diam termenung di bangkuku tanpa mengucap satu kata apapun. Rembulan tadi malam, bertanya kepadaku, “Mengapa engkau menjadi seperti ini, apakah engkau sakit?”. Bintang tadi malam memukul pundakku dan berkata “Jalani hidupmu dengan senyum, bukan dengan bermurung durja, engkau adalah gelap, yang denganmu aku sebagai bintang akan mampu menerangi bumi, tanpamu, cahayaku bukanlah apa-apa, aku yakin kalau aku tercipta dan muncul di pagi hari, manusia takkan ada yang menikmati dan memujiku”.

Sudah waktunya permadani ini kucuci dan kupajang kembali, agar semua hamba Tuhan mengerti dan memahami bahwa aku tetaplah utuh, aku merasa tidak ada yang berubah dalam diriku, mungkin aku hanya sedikit berubah menjadi pendiam, itupun aku rasa tidaklah terlalu berlebihan. Aku merasa tidak ada yang perlu dibicarakan. Maka untuk apa aku berbicara. Hanya itu alasanku.

Sudah aku duga, hujan hari ini benar-benar deras, mengguyur sekujur tubuhku yang berlari kencang dari arah parkir mobilku menuju arah ruang A3. Aku berlari kencang meninggalkan air itu jatuh ke tanah menyegarkan bunga-bunga di taman. Aku tak menghiraukannya, bukuku basah, dan sampailah aku di gerbang gedung kampusku. Aku berjalan perlahan sambil sesekali membersihkan jaket hitamku. Aku memeluk tubuhku sendiri. Kutatap di depan sana ada tulisan ruang A3. Waw, tak kuduga, aku terlambat, semua yang ada di ruang itu, menoleh ke arah pintu ketika aku membuka pintu tanpa rasa berdosa. Tak terkecuali ‘dia’. Lagi-lagi tatapan mata itu. Ya Tuhan, apa ini!

Seusai jam kuliah aku langkahkan kakiku ke arah kantin di lantai dasar dekat perpustakaan umum, masih dengan busanaku yang basah. Aku tak perduli. Tiba-tiba……

“Hai” sapa seorang gadis kepadaku,

“Hai” balasku angkuh

“Kamu kenapa sih, kelihatan sekali perubahan yang ada dalam dirimu, kamu putus cinta? Jadian aja ama aku, gimana?”

“Enggak aku nggak kenapa-napa kok, aku cuma malas bicara aja”

“Putus cinta?”

“Putus? Kapan nyambungnya?” jawabku sambil meninggalkannya begitu saja.

Wahai waktu, aku butuh kamu sebagai saksi dan yang akan menjawab semuanya. Aku butuh kamu karena aku yakin hanya kamu bidadariku yang paling setia menemani langkah-langkahku. Walau aku tahu, engkau bukan hanya milikku. Tapi aku berhak menciummu dan kejadikan kamu sebagai mahkotaku, aku ingin mencontohmu, yang selalu berjalan tanpa harus menghiraukan orang lain. Engkau selalu beranjak dari tempatmu tanpa harus menuruti apa kata orang di sampingmu. Engkau menjadikan dirimu sebagai tempat bertanyamu, tanpa harus bergantung pada orang lain. Tidak seperti aku.

Wahai matahari, aku butuh kamu sebagai saksi yang akan menjawab semuanya. Aku butuh kamu karena aku yakin hanya kamu permaisuriku yang paling memperhatikanku. Kalau boleh aku berucap dan menjawab kepada semua yang bertanya mengapa aku bisa menjadi seperti saat ini. Maka akan kujawab, aku menjadi seperti saat ini karena ‘dia’. Tapi aku takut ‘dia’ kan lari, menghilang seiring dengan hilangnya detik saat ini. Maka, aku memilih diam, aku jalani langkah ini tanpa harus berucap kepada siapapun tentang uraian hatiku ini. Aku memulai hari ini dengan senyum dan akan kuakhiri hari ini dengan senyum pula.

Wahai jejak kakiku, menjadilah saksi kalau kakiku pernah mengotorimu, atau bahkan menyisakan berjuta kenangan untukmu. Karena semua yang tertoreh dalam kalbu adalah yang pernah aku bayangkan dalam mimpiku dalam lamunku. Lagi-lagi aku masih meyakini kalau aku masih tetap seperti yang dahulu, aku masih tetaplah aku yang hidup normal. “Bukan begitu wahai jejak kakiku?”.

Aku menikmati hari ini dengan santai di taman belakang rumahku. Duduk-duduk sambil membaca kumpulan puisi-puisiku yang pernah kutulis ketika aku masih sekolah di MAN 1 Surabaya dulu. Tiba-tiba ……

“Hai” sapa papaku mengagetkan,

“Eh, Papa”

“Baca apa kamu?”

“Oh ini, puisi waktu aku masih sekolah dudu Pa”

“Kamu kenapa, papa amati sekarang kamu lebih banyak diam, nggak rame kayak dulu lagi”

“Ah, itu perasaan papa aja, aku baik-baik aja kok”

“Kenapa? Kamu putus cinta?”

“Ah papa, putus? Kapan nyambungnya Pa” jawabku sama seperti yang kulontarkan kepada semua yang pernah menanyakan hal sama.

Malam dingin, aku duduk di meja belajarku. Aku mengamati komputerku yang dari tadi hidup namun tak kusentuh sama sekali, aku hanya memainkan keybordku tanpa tujuan yang jelas. Makin lama, aku makin bingung. Mengapa setiap yang menanyakan ahwal-ku selalu mengatakan ‘PUTUS’. “Perasaan aku nggak pernah pacaran?” Ah sudahlah, persetan dengan hal itu, aku anggap itu semua sebagai rasa perhatian mereka kepadaku.

Tanpa terasa aku telah menumpahkan susu yang baru aku buat. Susu itu membasahi lantai kamarku, aku ambil kain lap di dalam kamar mandi dan kubasuh susu itu dengan perlahan, aku tidak akan membasuhnya dengan kasar, karena aku yakin kekasaran bisa menyakitkan. Aku takut lantaiku yang lembut dan halus akan merintih kesakitan karena aku menggosoknya dengan keras. Aku yakin ketika lantaiku terkena susu panasku, ia sudah cukup kesakitan. Aku tidak akan menambahi rasa sakit itu padanya lagi.

Tika, gadis manis, sahabat karibku sejak SD, ia akan melaksanakan pernikahannya minggu depan, keinginan untuk melaksanakan pernikahan itu sudah satu bulan yang lalu ia katakan kepadaku. Ia juga melihat perubahan pada diriku, berusaha mencari apa yang sedang terjadi padaku. Ia menelponku, ia mengajakku, jalan-jalan ke Malioboro Mall, aku iyakan apa yang menjadi keinginan sahabat karibku. Bagiku, Tika telah banyak memberikan sesuatu yang selalu jadi impianku. Maka, aku akan turuti keinginannya.

MALIOBORO MALL, malam ini kan menjadi penutup hariku. Aku langkahkan kaki perlahan sambil mencarinya. Aku janjian dengan Tika di depan ATM BCA di depan pintu utama. Aku sudah berada di depan ATM ini, aku duduk di tangga dekat ATM tapi tak kulihat Tika. Aku berusaha sabar menunggu. Kulihat arloji di tanganku sudah lebih dari setengah jam aku menunggunya. Tapi

“Hai”

“Sialan, lama banget sih, aku kan udah lama nunggu kamu”

“Maaf deh”

“Ya udah masuk yuk”

“Entar dulu, ada yang pengen ngomong tuh sama kamu”
”Siapa?” tanyaku sambil mencari-cari,

“Dia di ATM BCA tuh, masuk gih, cepetan”

Kugoyangkan kakiku perlahan, sambil bertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Aku hanya bisa mengamatinya dari belakang, aku harus masuk agar aku tahu siapa gerangan dirinya. Kubuka pintu perlahan dan iapun menoleh.

“Hai”

“Eh iya” jawabku terbata-bata,

“Kenapa, kaget ya ngeliat aku di sini. Maaf deh, aku cuma disuruh Tika kok”

“Emang kamu disuruh apa?”

“Aku disuruh nanyain ke kamu, kenapa akhir-akhir ini kamu jadi berubah”

“Emang menurut kamu aku berubah?”

“Iya”

Aku tak tahu, mengapa ketika berada di depannya aku tak mampu berbohong, aku harus mengatakan yang sebenarnya.

“Aku sedang berusaha menghilangkan jejak kaki seorang bidadari dalam hatiku”

“Maksudmu?”

“Aku sedang mencintai seorang bidadari, dan bidadari itu meninggalkan jejak kakinya dalam hati terdalamku”

“Ungkapkanlah perasaan itu padanya”

“Ada masalah besar”

“Apa?”

“Aku takut kalau aku ungkapkan dia nggak mau melihat aku lagi”

“Nggak mungkin”

“Ada lagi masalah yang besar”

“Apa?”

“Aku merasakan dia tidak mencintaiku, dan ketika aku mengungkapkan perasaanku itu namanya nggak tahu diri”

“Nggak mungkin, ungkapin aja dulu, kalau harus sakit itu adalah manusiawi”

“Satu lagi masalahnya”

“Apa?”

“Bidadari itu adalah kamu”

Seketika itu ia tertunduk, entah malu atau mau, yang jelas aku langsung mengakatan pungkasan kepadanya.

“Kamu nggak usah menjawab ini Di, kalaupun kamu tidak menerimaku, aku ikhlas, akan aku bersihkan jejak kakimu dalam hatiku secepatnya, agar tidak terlalu lama aku mengingatmu terus, setiap kali aku melihat jejak itu” ungkapku sambil membuka pintu ATM BCA.

Tiba-tiba ia memegang tanganku erat, membalikkan tubuhku yang besar dengan sepenuh kekuatannya. Tanpa menjawab, ia langsung memelukku sepenuh rasa. Aku hanya tersenyum. Aku yakin pelukannya ini adalah jawaban dari ungkapan hatiku. Terima kasih wahai jejak kaki seorang bidadari, berkat jejak itu aku bisa meraih hati bidadari yang meninggalkan jejak itu dalam hatiku. Tanpa jejak itu aku takkan mengenal siapa gerangan dirinya.

Selengkapnya...